Wanita Perokok
Ilustrasi. (BP/ist)

Oleh dr. Tri Budhi Baskara, S.Ked.

Gubernur Bali, I Wayan Koster, baru saja menerbitkan Peraturan Gubernur nomor 104/2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional Krama Bali Sejahtera. Aturan ini diharapkan semakin memantapkan layanan kesehatan, sehingga pada 2020, seluruh masyarakat Bali dapat terlindungi.

Persoalan kesehatan di Bali menjadi sektor strategis yang menjadi fokus pemerintah. Salah satu yang menjadi perhatian adalah rata-rata jumlah (prevalensi) perokok dewasa di Bali saat ini mencapai 18 persen. Biaya kesehatan di Bali pun terus meningkat. Sampai-sampai, pada tahun 2019, pemerintah Bali mengalokasikan dana Rp 495 miliar untuk Program Jaminan Kesehatan Nasional Krama Bali Sejahtera.

Perbincangan berkembang pada upaya mencari solusi mengurangi tingkat prevalensi perokok tersebut. Diskusi pun sampai pada pembahasan mengenai produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik. Ibarat magnet, keberadaan produk tembakau alternatif menarik perhatian masyarakat Bali dan daerah lain, bukan hanya terkait kandungan dan pengaruhnya pada kesehatan, tetapi juga dampak sosial dan ekonominya.

Keberadaan produk tembakau alternatif di Bali yang merupakan destinasi utama wisatawan asing perlu mendapat perhatian serius. Sebab, selain menjadi kepentingan masyarakat Bali, kepentingan wisatawan asing, terutama dari berbagai negara maju juga patut diakomodasi. Menurut data Badan Pusat Statistik, kunjungan wisatawan asing ke Bali sepanjang tahun 2018 mencapai 6,07 juta orang atau setara 38,39 persen dari 15,81 juta wisatawan asing yang masuk ke Indonesia.

Berbagai pertanyaan kemudian muncul dan menggelitik untuk dicarikan jawabannya. Apa sesungguhnya produk tembakau alternatif itu? Apa saja jenisnya? Apa bedanya dengan rokok konvensional? Mampukah produk tembakau alternatif menjadi solusi menurunkan prevalensi perokok di Bali?

Baca juga:  Guru, Berbagi dan Empati

Sesuai namanya, produk tembakau alternatif adalah sebuah hasil inovasi industri tembakau. Rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan adalah beberapa contoh produk tembakau alternatif. Selama ini, sebagian besar masyarakat baru mengenal rokok elektrik sebagai satu-satunya produk tembakau alternatif.

Padahal, ada persamaan dan perbedaan mendasar antara rokok elektrik dengan produk tembakau dipanaskan (heat-not-burn) yang belum banyak diketahui. Di antara persamaan rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan antara lain keduanya memiliki risiko kesehatan lebih rendah daripada rokok konvensional dan memproduksi uap aerosol, bukan asap pembakaran seperti halnya rokok konvensional. Secara regulasi, keduanya juga sama-sama masuk kategori hasil pengolahan tembakau lainnya.

Adapun perbedaannya adalah kandungan nikotin pada cairan rokok elektrik diperoleh dari ekstraksi daun tembakau secara sintetis dan produk ini digunakan dengan cara memanaskan dan menguapkan cairan likuid. Komponen inti dari cairan likuid tersebut terdiri dari propylene glycol (PG), vegetable glycerin (VG), dan cairan perasa. PG merupakan zat cairan sintetis yang antara lain berfungsi menyerap air dan membuat senyawa polyester. PG juga sering dipakai industri kimia, makanan, dan farmasi untuk memberikan efek pelembab dan antibeku.

Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat mengklasifikasikan PG sebagai bahan aman yang dapat dipakai dalam perasa, obat-obatan, kosmetik, dan makanan. Zat ini akan rusak dalam tubuh dalam jangka waktu 48 jam. Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) menetapkan asupan yang dapat diterima adalah maksimal 25 miligram PG untuk setiap kilogram berat badan manusia.

Baca juga:  Festival Kuliner Bali 2020, Gagasan Cerdas Perkuat Ketahanan Pangan Daerah

Sementara VG adalah carian bening dan tidak berbau yang dihasilkan dari minyak tumbuhan seperti minyak kelapa sawit, kedelai, atau minyak kelapa. Minyak kelapa sawit dan minyak kelapa mengandung campuran trigliserida (lemak) alami. Setiap trigliserida terdiri dari tiga asam lemak yang diesterifikasi dengan gliserin. Gliserin nabati sendiri dapat dipakai pada produk kosmetik, makanan, serta pengganti alkohol dalam tincture (ekstrak) herbal dan botani.

Sementara produk tembakau yang dipanaskan (heat-not-burn) mengandung komposisi daun tembakau yang diolah sedemikian rupa agar sesuai dengan alat pemanas sebagai medium memanaskan batang tembakau, sehingga membuat produk ini cenderung lebih menyerupai rokok konvensional. Dengan kata lain, produk tembakau yang dipanaskan memakai tembakau sebagai komponen utamanya.

Ihwal risiko kesehatan yang lebih rendah sudah diungkapkan berbagai penelitian. Pada tahun 2017, Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik melakukan penelitian untuk mengetahui perubahan sel pada mulut kelompok perokok aktif, pengguna rokok elektrik, dan non-perokok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perokok aktif memiliki jumlah inti sel kecil dalam kategori tinggi sebanyak 147,1. Sedangkan, pengguna rokok elektrik dan non-perokok masuk dalam kategori normal, yakni berkisar pada angka 70-80. Jumlah inti sel kecil yang semakin banyak menunjukkan ketidakstabilan sel yang merupakan indikator terjadinya kanker di rongga mulut.

Risiko kesehatan yang dimiliki oleh produk tembakau alternatif dapat menjadi lebih rendah karena pada saat digunakan produk tersebut tidak menghasilkan karbon monoksida dan TAR dari hasil pembakaran. Selama ini, masyarakat masih menilai bahwa nikotin adalah zat yang berbahaya. Padahal, temuan dari Public Health England menunjukkan bahwa nikotin memang dapat mengakibatkan ketergantungan, namun bukan pemicu utama penyakit berbahaya. Nikotin adalah zat yang lumrah terkandung di berbagai tumbuhan dan sayuran seperti tomat, kentang, terung, dan lainnya, bukan cuma tembakau.

Baca juga:  Pendidikan dan Teknologi di Era Society 5.0

Yang berbahaya sesungguhnya adalah TAR, zat kimia dalam gumpalan asap dari hasil pembakaran saat merokok. TAR mengandung senyawa karsinogenik yang dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronkitis kronik, dan gangguan kehamilan.

Keberadaan produk tembakau alternatif adalah salah satu solusi untuk mengurangi risiko dari produk tembakau secara persuasif. Ini juga menjadi solusi bagi perokok yang selama ini sulit menghentikan kebiasaan merokoknya.

Sudah terbukti, pengetatan aturan yang bersifat mengekang di berbagai daerah tidak berbanding lurus dengan penurunan tingkat prevalensi perokok masyarakat. Artinya, pendekatan yang dibuat selama ini masih belum efektif.

Alih-alih membuat peraturan yang sangat ketat, namun sulit diterapkan dan terbukti tak efektif, pemerintah dan masyarakat dapat bergandengan tangan memberikan edukasi mengenai konsumsi produk-produk yang lebih rendah risiko. Dengan demikian, literasi kesehatan masyarakat khususnya Bali yang sangat heterogen akan meningkat.

Tak hanya edukasi, berbagai penelitian ilmiah di bidang kesehatan tentang produk tembakau alternatif dalam skala lokal juga harus didorong. Terlebih lagi, tingkat kesehatan masyarakat di sebuah wilayah tak hanya dipengaruhi faktor internal manusianya, tetapi juga lingkungan sekitar. Jika seluruh proses ini dapat dijalankan dengan baik, tingkat prevalensi perokok di Bali dapat tereduksi.

Penulis, Pemerhati Kesehatan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *