Ilustrasi Pemilu. (BP/dokumen)

Oleh Dr. Dewa Gede Sudika Mangku, S.H., LL.M.

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dibentuk dengan semangat pembangunan yang merata di segala penjuru negeri, dari Sabang hingga Merauke. Kehadiran DPD-RI diharapkan mampu untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta para anggota DPD diharapkan mampu menarik aspirasi di daerahnya masing-masing untuk memberikan pelayanan yang baik sehingga tercapainya pemerataan pembangunan di daerah dan tidak terjadi ketimpangan di dalam pembangunan antara di pusat dan daerah.

Kepekaan legislator terhadap aspirasi publik juga harus dibangun. Tentu lahirnya DPD-RI ini memberikan angin segar bagi banyak kalangan terutama masyarakat di daerah, sebab aspirasi mereka dapat di serap dan disampaikan di pusat, sehingga besar harapan masyarakat luas DPD-RI mampu membawa perubahan di daerah terutama pemerataan pembanguan.

Akan tetapi sejumlah kasus korupsi yang menimpa oknum senator membuat harapan masyarakat luas luntur dan meragukan kehadiran DPD-RI. Semisal pada tahun 2016 kasus korupsi yang menimpa Ketua DPD-RI saat itu yaitu Irman Gusman, Ketua DPD tersebut terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah pengusaha asal Sumatera Barat tersebut.

Di dalam OTT tersebut Irman Gusma disinyalir menerima uang suap. Sontak kasus ini membuat kaget banyak kalangan, sebab DPD-RI saat itu masih dipandang bersih dari praktek korupsi dan praktek suap menyuap. Akan tetapi dengan kejadian OTT tersebut, marwah DPD-RI langsung roboh.

Baca juga:  Tidak Perlu Akuntan?

Banyak kalangan yang menyayangkan kejadian tersebut, akan tetapi nasi sudah menjadi bubur, DPD-RI harus segera berbenah untuk memulihkan citra dirinya kepada masyarakat Indonesia, bahwa DPD-RI mampu mengemban tugasnya untuk terus memperjuangan aspirasi masyarakat yang berada di daerah untuk terus di perjuangan di pusat, berkenaan dengan pemerataan pembangunan sehingga tercipta kesejahteraan dan kemakmuran di daerah.

Kita harus bercermin dari kejadian di atas sehingga hal-hal tersebut tidak terulang kembali dan menimpa senator-senator yang lainnya. Kita sebagai masyarakat harus cermat dan cerdas menggunakan hak pilih kita di dalam memilih pemimpin, khususnya DPD-RI wilayah Provinsi Bali. Kita harus mengetahui track record dari calon yang akan kita pilih supaya masyarakat Bali tidak memilih pemimpin yang salah. Hal ini sangat erat kaitannya dengan aspirasi dan keterwakilan masyarakat Bali di Senayan.

Dapat dikatakan bahwa perwakilan DPD-RI merupakan kepanjangan tangan dari Provinsi Bali, jadi peran dan fungsi DPD-RI cukup signifikan untuk memperjuangan kepentingan daerah demi terciptanya kesejahteraan nasional. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan di dalam Pasal 252 bahwa anggota DPD di setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang, artinya perwakilan DPD di Bali akan diwakili oleh empat orang yang memperoleh suara terbanyak di dalam pemilihan nanti.

Baca juga:  Dipertanyakan, Pembangunan Jembatan Sempat Mandek

Anggota DPD-RI Bali ke depan diharapkan harus mampu menjadi kepanjangan tangan masyarakat Bali untuk terus memperjuangkan aspirasi mereka, dan kepentingan Bali dan mampu memberikan kontribusi nyata kepada Bali. DPD-RI merupakan ujung tombak masyarakat Bali untuk menyalurkan aspirasinya dan menjadi jembatan di dalam memperjuangkan Bali di kancah nasional.

Akan tetapi, perwakilan DPD-RI memiliki problem di antaranya ialah berkenaan dengan pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang menyatakan bahwa pengurus partai politik (parpol) dilarang merangkap menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terhitung sejak Pemilu 2019. Tentu putusan ini memberikan gambaran bahwa anggota DPD nanti bersifat independen dan tidak ada pengurus parpol yang boleh mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPD.

Dengan tidak adanya pengurus parpol yang mencalonkan diri menjadi anggota DPD, nantinya belum tentu dapat memberikan garansi atau jaminan bahwa mereka terbebas dari praktek-praktek korupsi, dan tentu hal tersebut sangat sulit dijawab. Tentu tantangan ke depan para anggota DPD-RI benar-benar fokus untuk kepentingan masyarakat di daerah, sebab munculnya putusan MK ini memberikan dampak kepada calon DPD yang berasal dari partai politik.

Baca juga:  Bupati Suwirta Serap Aspirasi Masyarakat Nusa Penida

Dengan demikian, DPD-RI nantinya murni merupakan perwujudan perwakilan masyarakat daerah sebab mereka terhindar dari parpol. Berdasarkan putusan MK tersebut, mereka menjadi independen. Dengan banyaknya yang mencalonkan diri menjadi anggota DPD khususnya di Provinsi Bali, tentu memberikan alternatif pemimpin masa depan Bali ke depan yang mampu menyerap aspirasi masyarakat Bali dan mampu membawa Bali menuju Bali yang aman, damai, dan sejahtera.

Tentu masyarakat Bali di dalam memilih pemimpin harus paham dan hafal track record masing-masing calonnya, supaya tidak memilih pemimpin seperti membeli kucing dalam karung. Sudah saatnya masyarakat Bali belajar dan memahami apa yang ingin dilakukan untuk memajukan Bali dengan memilih calon pemimpinnya dengan pilihannya tanpa adanya tekanan oleh pihak manapun, sebab pilihan masyarakat Bali-lah yang akan menentukan arah dan tujuan Bali akan dibawa ke mana. Dan semoga pemilu 2019 senantiasa melahirkan pemimpin yang bertanggung jawab dan memperhatikan rakyatnya demi terciptanya Indonesia yang damai dan bersahaja.

Penulis, Dosen Ilmu Hukum, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *