Oleh Kadek Dwita Apriani
Pemilu serentak 2019 sudah tinggal sehari. Wacana pilpres mendominasi setiap ruang pembicaraan soal pilihan politik dalam pesta demokrasi itu. Padahal, ada empat kertas suara lain yang juga akan dicoblos para pemilih di TPS pada tanggal 17 April besok. Empat surat suara tersebut untuk memilih wakil rakyat yang akan mengisi kursi DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR-RI, dan DPD-RI.
Perbedaan antusiasme pemilih terhadap pilpres dan pemilu legislatif menyebabkan munculnya predikat pemilu kasta kedua yang disematkan pada pemilihan calon anggota legislatif. Perbedaan cara publik menyikapi pemilihan presiden dan pemilihan wakil rakyat terlacak baik di level nasional maupun lokal Bali. Perbedaan antusiasme itu berimplikasi pada perbedaan alasan pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya pada momentum elektoral serentak pertama dalam sejarah negeri ini.
Sebuah hasil survei berskala nasional yang diselenggarakan salah satu lembaga survei pada bulan Maret 2019 menunjukkan jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan capres
dan cawapres berada di kisaran 7 persen, sedangkan pemilih yang belum menentukan pulihan dalam pemilu legislatif 9,2 persen. Angka tersebut adalah data awal untuk menyebutkan adanya perbedaan cara publik menyikapi pemilihan presiden dan pemilihan wakil rakyat meski keduanya dilaksanakan serentak. Data senada dengan temuan lembaga survei di level nasional juga terlihat dalam temuan survei di Provinsi Bali.
Survei yang diselenggarakan pada bulan Februari 2019 di Provinsi Bali dengan 1.100 responden yang tersebar secara proporsional di seluruh kabupaten/kota itu menggunakan metode pencuplikan data multistage random sampling, sehingga margin of error-nya berada di kisaran 2,5 persen. Temuan survei tersebut menunjukkan bahwa pemilih Bali yang belum menentukan pilihannya pada pemilihan presiden saat survei dilaksanakan hanya berjumlah kurang dari 3 persen, sedangkan dalam pemilu legislatif berada di kisaran 17 persen. Ini menegaskan bahwa perbedaan antusiasme pemilih terhadap pilpres dan pileg memang terjadi, bahwa kesenjangan itu lebih terlihat dalam kasus Bali.
Beberapa interpretasi hadir sebagai alasan dari perbedaan angka yang cukup jauh itu.
Interpretasi yang umum, pemilih lebih mudah memutuskan pilihan politik dalam pilpres, sebab jumlah kontestannya tidak banyak dan informasi mengenai para kandidat lebih mudah didapat. Dalam pemilu anggota legislatif, masyarakat bingung menentukan pilihan karena banyaknya jumlah kontestan; kesulitan membedakan tingkatan lembaga perwakilan; dan tidak adanya hal spesifik yang menjadi pembeda dari para kontestan.
Isu kebijakan yang diangkat oleh satu caleg dan caleg lainnya kerap kali sama. Masyarakat juga sangat sulit untuk menilai berhasil atau tidaknya seorang anggota legislatif incumbent karena fungsi-fungsi legislatif memang relatif lebih sulit dinilai dibanding kinerja eksekutif.
Argumen tersebut terkonfirmasi melalui data tentang alasan yang paling banyak mendasari keputusan pemilih untuk memilih calon anggota legislatif di Bali. Alasan utama pemilih menjatuhkan pilihannya pada satu caleg bukanlah alasan isu kebijakan atau kinerja, melainkan karena popularitas dan pengaruh kelompok sosial seperti keluarga. Jumlah pemilih yang mengaku memilih caleg karena melihat bukti kinerjanya hanya berkisar di angka 7 persen.
Angka untuk alasan ini bahkan lebih rendah dibanding yang memilih caleg karena anjuran saudara atau keluarga. Menariknya, data ini juga memperlihatkan bahwa sekitar 3,4 persen pemilih memilih calon wakilnya karena asal coblos.
Walau persentasenya tidak besar namun ini penting untuk dicermati. Alasan memilih yang biasanya merupakan ciri pemilih rasional, seperti mengedepankan isu kebijakan dan kinerja tidak menjadi salah satu dari tiga alasan utama pemilih dalam menentukan pilihannya dalam pemilu legislatif di Bali.
Alasan memilih dalam pemilu presiden sangat berbeda dengan alasan pemilih memilih calon wakil mereka. Dalam pemilu presiden hal yang mendasari keputusan pemilih memilih pasangan calon didominasi oleh faktor kinerja dan kualitas kandidat. Faktor kelompok sosial, popularitas, dan iklan tidak mencolok seperti dalam pemilu legislatif.
Ini menyiratkan pesan bahwa pembagian tipologi pemilih rasional dan tradisional yang bersumber dari teori perilaku memilih sulit diaplikasikan pada konteks Bali. Dalam teori perilaku memilih, pemilih rasional memiliki kecenderungan memilih dengan didasari oleh alasan kinerja dan kualitas kandidat. Sedangkan pemilih tradisional adalah mereka yang memilih karena faktor kesamaan kelompok sosial, partai politik dan hal-lain lain di luar kinerja dan kualitas kandidat.
Tipologi pemilih umumnya dihubungkan dengan tingkat pendidikan dan akses informasi pemilih. Fenomena ini juga menerangkan, meski pemilihan dilaksanakan serentak, logika yang digunakan dalam menentukan pilihan politik oleh masyarakat khususnya di Bali, bisa saja berbeda.
Seseorang bisa memenuhi kriteria pemilih rasional berdasarkan tingkat pendidikan, akses informasi dan menjadi pemilih rasional dalam pilpres, namun dalam menjatuhkan pilihannya pada pemilu legislatif, pertimbangan sosiologis dan psikologis terlihat lebih menonjol.
Penulis adalah Direktur Riset di Cirus Surveyors Group dan kandidat doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia