Seorang pengendara motor melintas di dekat Rumah Dinas Bupati Buleleng yang akan ditata menjadi RTH. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Polusi udara di Bali, khususnya di Denpasar masuk dalam tahap mengkhawatirkan. Bahkan Greenpeace Indonesia melansir bahwa Denpasar termasuk 10 kota dengan polusi udara terburuk di dunia.

Upaya dalam mengatasi hal ini dilakukan lewat beragam cara. Salah satunya, seperti diungkapkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Denpasar I Ketut Wisada yang terus berupaya untuk mencegah semakin tingginya polusi udara, melalui uji emisi kendaraan bermotor. Uji emisi ini rutin dilakukan setiap tahun.

Lainnya melalui upaya peningkatan jumlah ruang terbuka hijau. Menurut arsitek senior, Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna, krama Bali yang memegang filosofi Tri Hita Karana pada hakikatnya selalu menjaga keseimbangan alam. Segenap krama Bali menjadi bijak dalam menata ruang fisik lingkungan hunian kehidupannya.

Telajakan menjadi contoh bagaimana krama Bali menciptakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai kawasan ekologis pada area semi publik. Memang saat ini nilai strategis posisi telajakan yang berada di tepi jalan raya telah memicu terjadinya perubahan fungsi. Banyak telajakan yang berubah menjadi warung akibat tuntutan fungsi ekonomi.

Rumah tradisional krama Bali juga sangat ramah terhadap lingkungan alam. Hampir sekitar 70 persen area rumah merupakan lahan terbuka. Sementara hanya sekitar 30 persen sisanya merupakan ruang terbangun untuk hunian.

Baca juga:  Media dan Travel Agent Malaysia Terpesona Penglipuran

Dengan pola seperti ini, berarti setiap keluarga krama Bali telah menyumbang lebih dari 50 persen area huniannya sebagai RTH bagi lingkungannya. Sementara itu struktur bangunan rumah tradisional krama Bali juga ramah dalam antisipasi terhadap bencana yang mungkin terjadi.

Konstruksi rumah merupakan struktur yang ramah terhadap goncangan gempa bumi. Sedangkan penggunaan bahan bangunan juga mengacu pada kaidah stabilitas mekanika konstruksi gedung, di mana bagian yang lebih atas selalu memakai bahan yang lebih ringan dibanding dengan bagian di bawahnya.

Di sisi lain, krama Bali selalu menghargai pohon-pohon besar berusia puluhan tahun sebagai warisan leluhur dengan segala kandungan fungsi ekologis maupun filosofisnya. Mindset seperti ini merupakan wujud implementasi konsep palemahan bagi krama Bali. Bahwa kita harus hidup harmonis menyatu dengan alam lingkungan kita.

Kawasan padat hunianpun tidak lepas dari kondisi tersebut. Sehingga banyak pohon besar yang berdampingan dengan lingkungan perumahan yang padat.

Di samping itu, masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu juga melaksanakan hari suci Nyepi setiap tahun. Peringatan Tahun Baru Caka ini berkontribusi besar dalam mengurangi polusi udara.

Dari data hasil pengamatan dan penelitian gas rumah kaca dan polutan yang dilakukan BMKG, pada saat hari raya Nyepi bulan Maret lalu, penyumbang pencemaran udara terbesar diakibatkan oleh aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang dimaksud yaitu penggunaan transportasi dan penggunaan energi.

Baca juga:  Nelayan Serangan Pertanyakan Penataan Timur Pantai Melasti

Deputy Director for Climate and Air Quality Research Center for Research Development BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan belum lama ini menjelaskan, dari hasil penelitian Maret, gas buangan Carbon Monoksida (CO) mengalami penurunan cukup signifikan 87 persen dibandingkan dengan partikel debu (TSP). Total (TSP) yang juga mengalami penurunan berkisar 39 persen dan karbon dioksida (CO2) yang mengalami penurunan 24 persen.

Dikatakannya, yang penurunannya signifikan terpantau di daerah yang padat aktivitas manusia atau daerah urban seperti Denpasar, dibandingkan di daerah yang masih pedesaan yang kualitasnya udaranya cukup baik. “Jadi yang terbesar menyumbang polutan dan efek gas rumah kaca di Bali adalah dari aktivitas transport dan energi,” ungkapnya.

Diakuinya, momen pelaksanaan Hari raya Nyepi memang sangat spesial. Karena pada saat itu, selama sehari satu pulau Bali aktifitasnya berhenti total dan itu tidak didapat di semua tempat dan negara.

Kondisi itulah yang menjadi kesempatan baik untuk pembuktian secara langsung dan terukur, bahwa aktivitas manusia berkontribusi terhadap pencemaran udara. Diantaranya penggunaan kendaraan bermotor, penggunaan energi, dan merokok.

Bukti penurunan polusi tersebut nantinya dijadikan contoh riil dalam upaya mitigasi dan mencegah pemanasan global. Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk menurunkan pencemaran udara adalah dengan melakukan perbaikan dari transportasi publik, terutama pengunaan kendaraan pribadi yang harus ditekan lebih rendah lagi.

Baca juga:  Melasti ke Segara Klotok Serangkaian Karya di Pura Dasar Buana Gelgel  

Kegiatan ekonomi dan transportasi yang berkontribusi menyumbang emisi kedepannya perlu dimitigasi. Misalnya, melalui penggunaan tranportasi yang ramah lingkungan dan pembangkitan energi yang terbarukan dan ramah lingkungan.

Juga, memilih produk tembakau alternatif atau hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) untuk meminimalkan karbon monoksida yang terlepas ke udara. HPTL umumnya tidak terdapat proses pembakaran yang memproduksi zat TAR dan karbon monoksida.

Berdasarkan data penelitian, dari 2015 hingga 2017, melakukan pengukuran kualitas udara pada saat Nyepi, untuk Nyepi tahun 2015 kadar CO menurun 75 persen, TSP 44 persen dan CO2 45 persen. Secara umum dari kedua pengukuran tersebut, saat Nyepi 2015 penurunan konsentrasi CO lebih tinggi dibandingkan Nyepi 2017, sedangkan parameter CO2 dan TSP penurunannya lebih rendah.

Untuk pengukuran tahun 2017, ada 4 titik yang dijadikan tempat penelitian yang mempresentasikan Bali, yaitu Negara (Bali barat), Karangasem (Bali timur), Denpasar (Bali Selata) dan Bedugul (Bali tengah). Sedangkan tahin 2015 ada 7 titik yang dijadikan tempat pengukuran, yaitu Denpasar, Ubung, Badung, Karangasem, Negara, Bedugul dan Singaraja. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *