DENPASAR, BALIPOST.com – Video yang diunggah Richard Horner seorang penyelam asal Inggris saat menyelam di Manta Point Nusa Penida mendadak viral dan menjadi pemberitaan media dunia seperti The Guardian dan Channel News Asia pada Maret 2018. Ia memperlihatkan banyaknya sampah plastik di Manta Point, titik penyelaman favorit bagi para wisatawan. “Tak pernah melihat sampah plastik sebanyak ini,” kata Richard dalam video itu yang mencoreng nama besar pariwisata Bali.
Soal sampah yang mengotori citra pariwisata Bali bukan hal baru. Sampah yang terus menerus menyerbu Pantai Kuta misalnya, bahkan sejak lama telah melahirkan wacana jika Bali darurat sampah.
Berdasarkan penelitian, penyumbang terbesar sampah yang memenuhi bentang pantai di Bali 80 persen merupakan kiriman dari sungai-sungai di Bali yang bermuara ke laut. Sementara volume sampah yang dihasilkan per hari mencapai 10.849 meter kubik ini setara dengan sekitar 3.000 ton.
Sampah sebanyak itu sebagian besar hanya dibuang begitu saja di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sedikit sekali yang diolah kembali. Alasannya, dana mengolah kembali sampah tidak tersedia.
Contoh kasus yang terjadi pada TPA Suwung di Denpasar. Menurut data Kementerian PUPR, setiap hari sampah yang masuk ke TPA Suwung volumenya mencapai 1.000 hingga 1.400 ton per hari. Namun dari ribuan ton sampah itu tidak banyak pengolahan yang dilakukan.
Tidak ada pemilahan sampah organik dan anorganik kecuali yang dilakukan para pemulung. Akibatnya sampah merusak lingkungan, menyebarkan bau tidak sedap dan mencemari air tanah.
Anggaran untuk penanganan soal sampah juga tidak pernah menunjukkan jumlah menggembirakan. Penanganan sampah, dianggarkan hanya Rp 4 miliar. Sementara di daerah lain, anggaran penanganan sampah bisa mencapai Rp 30 miliar.
Beruntung Bali pada 2018 menjadi tuan rumah Annual Meeting IMF-WB berpusat di kawasan Nusa Dua. Lokasi TPA Suwung yang terlihat jelas dari jalan tol dimana delegasi negara asing melaju dari arah Bandara Internasional Ngurah Rai ke Nusa Dua dipastikan menjadi ganjalan, merusak citra keindahan pulau Bali.
TPA Suwung yang menjadi muara sampah dari Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan inipun harus direvitalisasi dengan dana mencapai Rp 250 miliar dalam waktu 3 tahun mulai akhir 2017 hingga 2019 supaya tidak membuat malu pemerintah Indonesia. Dari 32,46 hektar TPA Suwung, 22, 46 hektar akan digunakan untuk ecopark dan sisanya untuk sanitary landfill management dan waste to energy. Termasuk didalamnya rencana pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar sampah.
Memang tidak mudah untuk menuntaskan masalah sampah apalagi jika hanya diserahkan kepada pemerintah. Sampah adalah problem kompleks yang bisa dituntaskan dengan langkah kebersamaan.
Masyarakat memegang peranan yang sangat penting karena bertanggung jawab pada rantai pertama persoalan. Perlakuan yang benar dari setiap warga terhadap sampah mungkin akan menuntaskan sekitar 80 persen persoalan.
Langkah paling mudah tentu membuang sampah tidak secara sembarangan terutama ke sungai. Sayangnya langkah mudah ini justru menjadi sangat sulit.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan sangatlah kuat nyaris sulit dirubah. Modernisasi boleh saja telah merasuki, tetapi ternyata perlakuan terhadap sampah tidak menunjukkan perkembangan berarti.
Mungkin karena sampah itu sesuatu yang tak berguna sehingga diperlakukan dengan sembarangan. Warga Bali harus waspada, karena sembarangan mengurus sampah bisa jadi bumerang.
Untungnya, di era pemerintahan Gubernur Bali, Wayan Koster, ada keseriusan untuk meminimalkan timbulan sampah plastik. Kehadiran Pergub No. 97 Tahun 2018 Tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai mendorong gerakan besar penyadaran masyarakat. Kendati, upaya penyadaran ini masih harus lebih digencarkan lagi.
Tidak hanya dari sisi dampak negatif sampah bagi lingkungan, tapi bagaimana masyarakat mau dengan sukarela mengurangi sampah. “Kenapa kita harus mengurangi, atas dasar itu tadi, proses produksinya sudah berkontribusi besar terhadap pemanasan global. Itu yang menjadi dasar kita mengurangi, yang penting-penting saja kita pakai,” ujar Pendiri Bank Sampah Bali Wastu Lestari, Ni Wayan Riawati.
Bicara sampah, lanjut Ria, juga tak melulu soal sampah plastik. Ada beragam sampah, seperti puntung rokok, botol, kaca, logam, dan sampah organik yang jumlahnya juga sangat besar.
Bahkan, komposisi sampah yang paling besar justru sampah organik. Di sini, kehadiran bank sampah menjadi penting untuk menangani masalah sampah.
Terutama di dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. “Jadi disosialisasi awal itu kita sampaikan secara terpadu, organik diapakan, non organik diapakan, single use jangan dipakai, juga yang residu. Residu itu adalah yang mengandung B3 seperti pampers dan pembalut, ini akan kita ganti penggunaannya tidak lagi yang single use,” jelasnya.
Menurut Ria, masyarakat jangan hanya berpikir modern dan praktis. Tapi memiliki pemahaman yang benar bahwa modern dan praktis seharusnya ramah lingkungan.
Kepala SD 13 Pedungan, IGA Mastutik mengatakan, pengetahuan awal tentang memilah sampah harus diajarkan sedini mungkin dari pendidikan dasar. Dengan demikian, anak-anak juga bisa mengedukasi orangtuanya untuk mengumpulkan sampah yang sudah dipilah.
Hal ini pun diterapkan pada sekolah yang dipimpinnya. Diakui bila upaya ini sempat menuai reaksi negatif karena sampah dianggap kotor. Kemudian mengumpulkan sampah identik dengan pemulung.
Meskipun setelah 2-3 bulan berjalan, para orangtua akhirnya menyadari tentang pentingnya memperhatikan lingkungan. “Sampai sekarang, bank sampah kami di SD 13 Pedungan itu sudah 4 tahun berjalan. Setiap penimbangan itu, bukan anak saja yang membawa sampah. Tapi orangtuanya juga membantu membawa dari rumah,” ujarnya.
Mastutik menambahkan, pengumpulan dan penimbangan sampah dilaksanakan setiap hari Rabu dan Jumat. Sebelum diangkut oleh DLHK, siswa yang tergabung dalam ekstrakurikuler Bengkel Kreatif mengambil sampah yang terkumpul untuk dibuat aneka kerajinan.
Kerajinan dari sampah ini pun kerap dipamerkan pada saat jeda semester. Sementara tabungan sampah mereka di bank sampah dapat diambil dalam bentuk alat tulis, tas atau peralatan sekolah lainnya. “Apa yang kita sasar, walaupun tidak 100 persen bisa kita capai (ternyata) mendapat tanggapan dari anak-anak. Ada satu perubahan jadinya, yang kami pentingkan di sana agen-agen perubahan ini,” jelasnya.
Dalam setiap kesempatan, lanjut Mastutik, anak-anak bisa berkampanye tentang sampah dan kebersihan. Semuanya berawal dari perubahan mindset, bahwa kini sampah adalah tabungan.
Kemudian, membuat MoU dengan kantin sekolah agar tidak lagi menggunakan plastik sekali pakai. Anak-anak bahkan guru juga membawa tempat makan dan botol minum tumbler sendiri dari rumah.
Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Parta sejak 4 tahun terakhir juga membentuk relawan lingkungan yang terdiri dari anak-anak. Pembentukan relawan ini dilatarbelakangi oleh kejadian demam berdarah yang merenggut beberapa nyawa di desanya. “Saya sengaja mengambil segmen anak-anak karena lebih mudah diajak ngomong daripada orang dewasa, meboya-nya banyak sekali. Untuk memutus generasi meboya, lebih baik dimulai dari anak-anak dan ini efektif sekali,” ujarnya.
Menurut Parta, masalah sampah di Bali tidak akan dapat diselesaikan sepanjang tidak dibangun kesadaran kolektif bahwa sampah adalah musuh dan persoalan bersama. Jangan hanya menganggap orang lain yang memproduksi sampah tapi juga diri sendiri. (Winata/Rindra Devita/balipost)