MANGUPURA, BALIPOST.com – Sejak dibentuk pada 2016, banyak hal telah dilakukan Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Bali. Setiap tahunnya ada upaya-upaya khusus yang dilakukan.
Pada 2019 ini, IHGMA Bali fokus untuk menggali permasalahan yang dihadapi di era digitalisasi, revolusi industri 4.0. Menurut Ketua DPD IHGMA Bali I Nyoman Astama, SE., CHA., pada rapat kerja daerah (RAKERDA) DPD IHGMA Bali, Sabtu (20/4) setiap tahun pengurus mengambil fokus kegiatan yang terstruktur sehingga diharapkan dapat meningkatkan eksistensi, keberadaan asosiasi ke depannya.
Pada 2016 setelah dibentuk, IHGMA fokus pada konsolidasi anggota dan memastikan positioning asosiasi. Selanjutnya pada 2017 IHGMA Bali fokus untuk merangkul asosiasi dan stakeholder lainnya untuk bersinergi dan meningkatkan soliditas para pelaku pariwisata.
Diantaranya, dalam bentuk kegiatan sosial meningkatkan soliditas para pelaku pariwisata diantaranya dalam bentuk kegiatan social dan CSR. Di 2018, DPD IHGMA Bali mulai meluncurkan program skill development termasuk pelatihan dan sertifikasi para GM anggota IHGMA untuk mendapatkan pengakuan keahlian bidang perhotelan dari BNSP RI.
Pada 2019 ini DPD IHGMA mencoba untuk menggali secara holistik permasalahan anggota di era digitalisasi, revolusi industri 4.0 yang didominasi kemajuan teknologi. Sehingga peningkatan soft skills para anggota dirasakan semakin penting di tengah persaingan yang multidimensi dan agresif ini.
“Sesuai tagline IHGMA yaitu Profesional, Integrity, Networking, kami mengedepankan partisipasi dan berbagi antar anggota demi kemajuan bersama dan secara eksternal agar dapat berkontribusi secara positif bagi masyarakat, industri dan pemerintah,” imbuh Astama yang juga Founder and Managing Director NUSA Hospitality Management.
Director of Operations Global Hospitality Expert (GHE) K. Swabawa, CHA., dalam pemaparannya di seminar bertema “Unveiling The Industry 4.0 Impact and Challenges for Hospitality Industry” menyebut beberapa poin terkait digitalisasi dan tantangan yang terjadi, serta alternatif solusi yang harus diperhatikan oleh pimpinan hotel. Swabawa mengatakan bahwa fenomena disrupsi dan kemajuan system robotic software harus dapat dikombinasikan dengan baik agar pelayanan prima secara berkepribadian (human personalize service) sebagai core business dunia perhotelan dapat ditampilkan sesuai adaptasi kemajuan peradaban manusia.
“Industri lainnya bisa menerapkan 75% – 90% system robotic. Sementara di dunia perhotelan tentunya tidak dapat diasumsikan seperti demikian kalaupun ada itu, sifatnya adalah thematic conceptyang memiliki market segment tertentu,” pungkasnya. (Citta Maya/balipost)