Oleh Theresia Mutiara Galistya
Sesuai dengan visi “Nangun Sat Kerthi Loka”, Pemerintah Provinsi Bali terus berupaya keras mewujudkan Bali Era Baru dengan konsep pembangunan Semesta Berencana. Hal ini seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) tahun 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2018-2023.
Salah satu target besar yang ingin diraih yakni meningkatkan pertumbuhan ekonomi Bali menjadi sekitar 7,0-8,0 persen. Namun, sebenarnya ada tantangan lain yang turut mengemuka. Selain mengejar peningkatan pertumbuhan, memeratakan pertumbuhan ekonomi menjadi persoalan yang tak kalah penting.
Penyelenggaraan pembangunan di Bali selayaknya dilakukan secara holistik dan bukan secara parsial. Hal berarti membangun seluruh wilayah Bali secara terpola, terencana, terarah, dan terintegrasi serta memastikan adanya distribusi hasil-hasil pembangunan secara seimbang sehingga seluruh kabupaten/kota se-Bali dapat menikmati bagian “kue” pembangunan secara adil dan merata.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, angka pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota se-Bali masih menunjukkan adanya ketimpangan. Pada tahun 2017, pertumbuhan ekonomi tertinggi masih didominasi oleh Kabupaten Badung (6,11 persen) dan Kota Denpasar (6,08 persen). Hal ini cukup beralasan mengingat kedua kabupaten/kota ini merupakan tujuan utama destinasi pariwisata Bali.
Nilai tambah yang besar mampu tercipta dari industri pariwisata dan turunannya, seperti sektor transportasi yang didukung oleh keberadaan beberapa infrastruktur penunjang seperti bandara, terminal, dan pelabuhan. Namun, berbeda halnya dengan wilayah yang seolah masih berfungsi sebagai penyangga perekonomian Bali, Kabupaten Jembrana, misalnya.
Pertumbuhan ekonomi di kabupaten yang terletak di bagian barat Pulau Bali ini berada pada kisaran 5,31 persen. Cukup jauh di bawah angka pertumbuhan ekonomi Kabupaten Badung maupun Kota Denpasar.
Padahal, di Kabupaten Jembrana terdapat Pelabuhan Gilimanuk yang merupakan penghubung antara Pulau Jawa dan Pulau Bali. Dari empat pelabuhan utama yang ada di Pulau Bali, Pelabuhan Gilimanuk menjadi pelabuhan dengan jumlah penumpang terbanyak.
Pada tahun 2017, sekitar 13 juta penumpang datang dan berangkat dari pelabuhan ini. Kondisi tersebut mengindikasikan betapa pentingnya fungsi infrastruktur ini bagi Provinsi Bali.
Namun, nyatanya nilai tambah yang mampu dihasilkan belum berpengaruh besar dalam mendongkrak angka pertumbuhan ekonomi, khususnya bagi Kabupaten Jembrana. Oleh karenanya, dibutuhkan motor lain yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kabupaten ini. Salah satunya adalah peningkatan infrastruktur jalan.
Seperti dinyatakan oleh peneliti dari Bank Indonesia (Novi dkk., 2014), investasi infrastruktur telah terbukti secara empiris menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kondisi infrastruktur dasar seperti jalan berdampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita.
Oleh karenanya, penyediaan infrastruktur menjadi prakondisi yang wajib dipenuhi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan. Terkait infrastruktur jalan, pembangunan jaringan jalan yang ideal akan bermanfaat bagi peningkatan mobilitas orang maupun barang dan jasa dari masyarakat setempat maupun antardaerah.
Selama ini, penanganan jalan yang umum dilakukan berupa pemeliharaan, peningkatan, dan pembangunan jalan baru. Hasil kajian dampak infrastruktur jalan terhadap pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah yang dilakukan oleh peneliti UGM (Hengki dan Dwi, 2009) menunjukkan bahwa investasi yang paling signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi untuk wilayah Bali adalah peningkatan jalan.
Menilik kondisi umum ruas jalan di Provinsi Bali yang didapat dari catatan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Bali, dari total 1.372,74 km panjang jalan nasional dan jalan provinsi pada tahun 2017, terdapat 136,07 km jalan dalam kondisi rusak dan 2,90 km rusak berat. Sisanya 469,09 km dalam kondisi sedang dan 764,68 km yang masih baik. Sejatinya, upaya aktif pemerintah untuk terus meningkatkan infrastruktur jalan telah tergambar dalam pembangunan shortcut Mengwitani-Singaraja.
Pembangunan infrastruktur ini menjadi suatu gebrakan Pemerintah Provinsi Bali yang patut diapresiasi. Dalam beberapa kesempatan, Gubernur Bali telah menyampaikan target penyelesaian pembangunan jalan tersebut hingga tahun 2021. Sebelum kemudian fokus membangun jalan di Kabupaten Jembrana.
Namun, terdapat persoalan mendesak yang tidak dapat menunggu dan harus segera dituntaskan, yaitu kemacetan di jalur Denpasar-Gilimanuk. Dengan jarak Denpasar-Jembrana yang sejauh 95 km dan Badung-Jembrana sejauh 87 km, waktu tempuh normal yang dihabiskan sekitar 4-5 jam. Waktu tempuh ini akan semakin lama saat terjadi kecelakaan ataupun kondisi buruk cuaca seperti hujan dan adanya bencana alam (banjir bandang, tanah longsor, maupun pohon tumbang).
Selain kemacetan dan lamanya waktu tempuh, kondisi jalan juga dirasa cukup mengkhawatirkan. Begitu seringnya dilewati oleh kendaraan angkut berat dengan tonase besar membuat banyak jalan berlubang dan struktur jalan bergelombang. Kondisi ini tentu sangat membahayakan keselamatan pengguna jalan apalagi jika letaknya di tikungan maupun tanjakan.
Ditambah masih kurangnya sarana penerangan jalan, membuat banyak pengendara harus ekstra hati-hati saat melintas pada malam hari atau saat hujan. Selain itu, saat perayaan hari raya di Bali, dapat dipastikan terjadi kepadatan lalu lintas yang berpotensi meningkatkan kejadian lakalantas. Yang terakhir misalnya, beberapa hari jelang hari raya Nyepi yang puncaknya sehari sebelumnya, kemacetan mengular sepanjang jalur keluar Pulau Bali ini.
Sebenarnya, untuk mengatasi kepadatan kendaraan yang melintas, pemerintah telah mensosialisasikan dan mendorong masyarakat untuk menggunakan moda angkutan umum. Berdasarkan data Dinas Perhubungan Provinsi Bali pada tahun 2017, untuk angkutan penumpang, khususnya jenis kendaraan umum yang melayani trayek antarkota dalam provinsi (AKDP), tercatat berjumlah 548 armada dengan daya angkut sekitar 12.198 penumpang.
Namun disayangkan, dengan lamanya waktu tempuh perjalanan menyebabkan orang menjadi enggan untuk menggunakan moda angkutan umum tersebut. Hal ini pada gilirannya mendorong peningkatan jumlah kendaraan bermotor, utamanya sepeda motor.
Data Badan Pendapatan Daerah Provinsi Bali menunjukkan jumlah sepeda motor pada tahun 2017 mencapai sekitar 3,3 juta unit. Jumlah ini disinyalir terus meningkat setiap tahun. Peningkatan jumlah kendaraan tentu berdampak pada peningkatan kejadian lakalantas. Kepolisian Daerah Bali mencatat sepanjang tahun 2017 terjadi 1.824 kejadian kecelakaan dengan korban meninggal dunia mencapai 482 orang dan kerugian material sekitar Rp 4,21 miliar.
Sebagai upaya untuk meningkatkan infrastruktur jalan, dapat ditempuh beberapa langkah strategis. Seperti dalam Perda Provinsi Bali nomor 4 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum harus dilengkapi dengan perlengkapan jalan yang antara lain berupa alat penerangan jalan, alat pengendali pemakai jalan (pembatas kecepatan dan pembatas tinggi dan lebar kendaraan), serta alat pengaman pemakai jalan (pagar pengaman, cermin tikungan, tanda patok tikungan).
Oleh karenanya, pemerintah dan pihak terkait seyogianya segera meningkatkan sarana dan prasarana penunjang keselamatan dan kelancaran perjalanan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu, peningkatan jalan menjadi langkah utama yang harus segera diambil. Jika tidak dengan menambah ruas jalan, setidaknya dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas jalan yang telah ada melalui pengetatan regulasi terkait akses kendaraan yang melintas.
Penulis, Statistisi BPS Provinsi Bali