Oleh GPB Suka Arjawa
Pengumuman resmi pemenang pemilu serentak 2019 ini baru akan dilakukan tanggal 22 Mei yang akan datang. Cukup lama masyarakat Indonesia menunggu hasil itu.
Barangkali bagi mereka, terutama generasi milenial yang selalu mendapatkan hasil cepat dalam sebagian pencariannya, menunggu sebulan merupakan tempo kuno yang tidak dapat ditolerir perasaan mereka. Tetapi bagi generasi Koes Plus (lahir dekade enampuluhan) yang terbiasa menulis surat untuk mengungkapkan cintanya, menunggu sebulan ini adalah biasa dan sah-sah saja.
Lumrah jika di masa lalu menunggu balasan surat “rasa” itu lebih dari seminggu bahkan sampai sebulan, sambil deg-degan. Generasi Koes Plus ikut pemilu pertama tahun 1977/1982.
Sesungguhnya generasi milenial sekarang sudah memiliki perwakilan dalam kontestasi pengumuman pemilu presiden, yaitu dengan adanya polling hitung cepat. Lebih dari empat lembaga hitung cepat berseliweran di televisi Indonesia untuk mengumumkan temuannya terhadap hasil pemilu kali ini.
Hampir seluruh lembaga hitung cepat yang muncul itu memberikan angka konstan sekitar 54 persen untuk suara Joko Widodo-Ma’ruf Amin, berbanding 45 persen untuk pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Akan tetapi pasangan nomor urut 02 ini juga mengatakan dan mengklaim kemenangan sekitar 62 persen berdasarkan lembaga hitung cepat yang ada di dalam timnya. Adanya dua indikasi kemenangan inilah yang kemudian membuat masyarakat seolah tersandera oleh hasil kemenangan tersebut, terutama bagi mereka-mereka yang menginginkan hasil secepatnya terhadap pemilu yang membikin penasaran ini.
Dalam beberapa pengalaman pemilu di Indonesia, baik tingkat pusat (presiden) maupun tingkat daerah (seperti wali kota atau gubernur), perhitungan yang dilakukan oleh lembaga penyedia jasa penghitungan cepat tidak pernah meleset. Ini terjadi pada lembaga-lembaga independen profesional yang memang berfokus pada penghitungan itu tanpa keberpihakan politik.
Boleh dikatakan lembaga ini kredibel, dapat dipercaya. Dalam pemilu kali ini, lembaga-lembaga yang mengeluarkan angka 54-45 untuk pasangan nomor 01 dan 02 itu adalah lembaga independen yang dalam penghitungan tahun-tahun sebelumnya tidak meleset hasilnya. Jadi kredibel. Jelas ada rumus dan teori tertentu untuk melaksanakan survei ini.
Akan tetapi, angka 62 persen kemenangan untuk Prabowo-Sandiaga Uno ini masih belum kelihatan secara jelas lembaganya. Namun demikian, karena seluruh lembaga tersebut baru memberikan data yang berdasar pada hasil perhitungan cepat, bukan pada hasil murni, maka kita harus menghargainnya.
Hanya KPU yang berhak melakukan perhitungan resmi untuk seluruh suara hasil pemilu di Indonesia. Dan itu akan diumunkan tanggal 22 Mei yang akan datang. Jadi, mumpung hasil resmi belum diumumkan oleh KPU dan mumpung perhitungan masih diselenggarakan, boleh-boleh saja mengeluarkan pernyataan bahkan mengklaim kemenangan.
Ini seperti petinju atau petarung bebas UFC yang sama-sama mengangkat tangan sebelum wasit mengangkat tangan pemenang pada saat terakhir, berdasarkan perhitungan nilai yang dilakukan oleh juri. Di sinilah kemudian menariknya fenomena masyarakat modern atau post modern sekarang. Banyak kejadian kuno di zaman post modern ini, juga banyak kejadian lucu kalau meminjam terminologi lucu versi Srimulat (lucu adalah pembelokan kewajaran!).
Di zaman sekarang kebenaran itu adalah berawal dari subjektif, atau dari klaim diri sendiri dulu, baru kemudian diobjektifkan atau dipaksa diobjektifkan. Orang-orang pintar (bukan “pintar”) menyebutnya dengan pascakebenaran. Pascakebenaran itu bisa jadi kebohongan, bisa jadi kegamangan, tetapi mungkin juga benar hal itu terjadi.
Kebenaran itu merupakan klaim sendiri dan kemudian dengan menggunakan berbagai metode atau alat, berupaya disebar, dikabarkan bahkan dipaksakan kepada pihak lain (agar percaya dengan kebenaran subyektif itu). Bagaimana kebenaran itu wujudnya, tidaklah terlalu perlu dipikirkan, yang penting mampu memaksakan dan menyebarkan kepada pihak lain. Atau mampu mempunyai pengikut. Jelas, pengikut sebanyak-banyaknya.
Sesungguhnya pendapat ini tidaklah terlalu baru di Indonesia, karena wakil presiden Mohammad Hatta di masa awal kemerdekaan dulu mengatakan bahwa hati-hati dengan kebenaran karena ia merupakan sesuatu yang relatif. Artinya, jika seribu orang mengatakan pensil itu pulpen, maka itulah yang benar, dan lima puluh orang yang mengatakan pensil itu adalah pensil, tetap mendapati diri mereka salah.
Dalam skala lain, pendapat ini sama saja dengan kenyataan bahwa masyarakat sudah tahu jika calon bupati itu jelek, tetapi kenyataannya sang calon bupati itu menang dan masyarakat itulah yang memilih.
Tidak peduli bagaimana cara ia terpilih, entah melalui suap, politik uang, ancaman, paksaan dan sebagainya. Yang paling penting adalah sang calon bupati yang sudah ketahuan kelemahannya itu tetap terpilih.
Di zaman sekarang, ketika media sosial begitu membahana di tengah-tengah masyarakat, kebenaran subjektif dapat diciptakan dan disebar. Media sosial dapat mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Jika pulpen itu dikatakan pensil oleh orang yang dungu, tetapi kemudian ia yang dungu itu mampu mencuri perhatian orang banyak dan memercayainya, maka banyaklah yang membenarkan bahwa pulpen itu pensil.
Kendati kita mengatakan orang-orang yang mengatakan pulpen itu pensil merupakan orang dungu, mereka tidak peduli karena sudah berhasil meraih massa. Itulah zaman sekarang, kaliyuga!
Bagaimana dengan klaim kemenangan 62 persen dalam pemilihan presiden, demikian juga keunggulan 54 persen berbanding dengan 45 persen? Ya, mumpung pengumuman resmi masih satu bulan lagi, maka dapat diduga saling klaim itu akan terus berulang dan berulang lagi seterusnya sampai sebulan.
Media sosial adalah lokasi paling hiruk-pikuk mencari pengikut. Jika klaim kemenangan 62 persen ini mampu mengambil hati lebih banyak orang, bisa jadi juga pengikut mereka akan percaya dengan kemenangan itu.
Demikian sebaliknya. Titik bahaya paling besar adalah manakala pengikut-pengikut kebenaran itu sama-sama banyak, dan berhadapan. Ini situasi yang berbaya secara nasional.
Maka jalan tengahnya adalah, jika memungkinkan mempercepat pengumuman hasil formal dari KPU. Elit politik Indonesia sudah benar mengeluarkan imbauan, agar masyarakat menunggu hasil yang formal dari KPU. Sikap yang paling waras adalah menunggu hasil resmi itu. Menunggu sebulan. Generasi Koes Plus sudah terlatih menunggu hasil pemilu yang berminggu-minggu ini, seperti mereka menunggu balasan surat dari gadis incarannya, jauh di masa lalu!!
Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana.