penglipuran
Desa adat Penglipuran, salah satu DTW di Bangli yang masih melestarikan bentuk bangunan stil Bali. (BP/dok)

Oleh Putu Rumawan Salain

Ketika ruang dipandang sudah melahirkan kepadatan, macet, mahal, dan lainnya maka kata sakti yang diluncurkan adalah ubah peraturannya. Jika demikian adanya, maka kalimat ‘’Awak tidak bisa menari, lantai dikata bejungkit’’ sepertinya merupakan idiom yang pas. Bukankah pembangunan di Bali bukan hanya di kawasan metropolis Sarbagita?

Semangat dalam review RTRW Provinsi Bali yang tertuang dalam Perda Nomor 16 Tahun 2009 menjelang akhir tahun 2018 kemarin kembali ramai dibicarakan. Pembicaraan ada pada semangat perubahan yang memang disadari atau tidak akan berdampak pada berbagai aspek kemanusiaan-alam dan hubungan-hubungannya. Hierarki norma Penataan Ruang bagi Wilayah Provinsi adalah bersumber dari turunan Undang-undang Penataan Ruang Republik Indonesia.

Adapun tujuan dari Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 dijabarkan ke dalam Bab I pasal 3 tentang Tujuan Penataan Ruang Wilayah Provinsi Bali untuk mewujudkan: Ruang wilayah provinsi yang berkualitas, aman, nyaman, produktif, berjati diri, berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan berlandaskan Tri Hita Karana; Keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; Keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; Keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang; Pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat; Keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah kabupaten/kota; Keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor; dan Pemanfaatan ruang yang tanggap terhadap mitigasi dan adaptasi bencana.

Mencermati bunyi teks pada Tujuan Penataan Ruang di atas khususnya pada tujuan nomor 1, dengan jelas bertujuan untuk menciptakan ruang yang berkualitas, aman, nyaman, produktif, berjati diri, berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan berlandaskan Tri Hita Karana. Sungguh luas, dalam, dan jelas bahwa ruang di Bali wajib hukumnya memenuhi maksud-maksud tersebut di atas. Tidak mudah di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi yang mendorong roda pembangunan lebih cepat dari sebelumnya untuk mengorbankan kualitas ruang. Bahkan, tanpa melihat kata-kata lainnya, kata Tri Hita Karana yang tertulis di dalam teks tersebut memiliki makna yang sangat dalam untuk mengimplementasikan keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia-alam-dan Tuhan-nya. Dalam penerapannya sangat jelas bahwa yang dimaknai dengan harmoni itu adalah situasi equal. Dalam bahasa lainnya dapat dikatakan sebagai Homeo Stasi.

Baca juga:  Menimbang Tiga Pengganti Pak Koster

Bali kini memiliki jumlah penduduk mendekati 4,5 juta jiwa, kehadiran wisatawan nusantara dan mancanegara sekitar 12,5 juta jiwa/tahun dengan luas pulau 5.780,06 km2 tentu memiliki keterbatasan dalam hal daya dukung dan daya tampung, khususnya yang sehari-hari terlihat di kawasan Sarbagita, seperti di Kota Denpasar dan Badung. Dampaknya terlihat dengan semakin padatnya lalu lintas, timbulan sampah, kekurangan air bersih, dan tentu pencemaran udara dan air di beberapa titik. Bahkan tanpa diduga, banyak lahan sawah beralih fungsi, harga semakin mahal, dan yang tidak terlihat bahwa struktur ideologi masyarakat Bali telah diintervensi dengan ideologi pariwisata yang dibingkai dengan komoditas.

Padahal, persentase ruang Bali untuk dieksplorasi sejatinya masih sangat signifikan dapat dilakukan. Menurut data yang diperoleh dari 100% luas Pulau Bali, yang terbangun baru sekitar 14,35%. Dengan kata lain, perluasan pembangunan seharusnya dilaksanakan merata di seluruh kabupaten/kota sesuai amanat dari Perda RTRWP Bali Nomor 16 Tahun 2009, melalui perencanaan dan pembangunan infrastruktur yang terintegrasi. Pembangunan Bali seharusnya dimplementasikan sebagai sebuah pulau dengan ekosistem-budaya unggul dan tidak dibangun dengan sekat-sekat yang kaku antarkabupaten/kota. Manajemen perencanaan yang berlandaskan pulau wajib dikedepankan untuk kenyamanan, aman, berindentitas ‘’jati diri’’, dan produktif tanpa meninggalkan kebudayaannya, serta kualitas yang berkelanjutan.

Keunggulan di setiap kabupaten/kota dapat diintegrasikan atas saling ketergantungan, artinya dalam bahasa ekonomi wajib ada subsidi silang untuk membangun masing-masing kota/kabupaten ‘’duduk sama rendah, berdiri sama tinggi’’, seharusnya menjadi konsep dalam membangun equal dengan sesama. Apa yang terjadi jika pembangunan tata ruang diabaikan atau dilanggar? Tentu akan ada dampak sesuai dengan kasus setempat seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan yang paling tidak terlihat adalah terjadinya perubahan sikap maupun etika manusianya. Dampak ekologi tidak hanya menyangkut kualitas alam akan tetapi dia akan berhubungan secara resiprokal dengan manusianya.

Baca juga:  Masuk Proses FS, Proyek TPSa Suwung Segera Direalisasikan

Filosofi penatan ruang adalah pemerataan akses dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Filosofi tersebut sangatlah mulia namun sering ada muatan yang tidak disadari ikut mengorbankan fungsi lahan atas nama pembangunan. Mirip dengan Revolusi Industri abad XIX di Eropa yang memanfaatkan teknologi untuk mengolah pertanian dan hubungan-hubungannya. Di Indonesia, khususnya di Bali, pemerintah secara terstruktur melakukan Land Consolidation (LC) atas nama pembangunan ‘’pemekaran wilayah/kota’’. Desa Renon-Denpasar adalah salah satu korban dari pembangunan dari lahan pertanian menjadi fungsi pusat pemerintahan.

Keberhasilan atau kegagalan ini dicontoh oleh kota/kabupaten lainnya di Bali. Akibatnya, tentu ikut menyumbang peralihan fungsi lahan, khususnya sawah menjadi fungsi permukiman, perkantoran, perdagangan, dan lainnya. Dengan demikian, perubahan fungsi lahan di Bali sudah berlangsung sejak lama dan bukan hanya dilakukan oleh pelaku pariwisata. Pemerintah ikut bertanggung jawab dalam hal ini. Bahkan, tidak ada evaluasi pascadiubahnya fungsi lahan agraris tersebut para petani maupun penggarap hidupnya kian sejahtera atau terpuruk.

Kini, derasnya pembangunan di Bali bermuara pada sulitnya memperoleh lahan dan tingginya harga tanah setiap 1 are (100 m2). Kesulitan ini berakibat lahirnya kreativitas dan inovasi dari para pemodal untuk berinvestasi di Bali. Bali disadari atau tidak merupakan medan laga bisnis yang menggiurkan dengan prospek yang signifikan. Teluk Benoa merupakan saksi bisu ketika investor hendak melakukan reklamasi ditolak dengan gigih oleh masyarakat Bali dengan berbagai dukungan kajian teknis dan nonteknis.

Akan tetapi kini ketika Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ‘’pemerintah’’ yaitu Pelindo III tanpa berisik melakukan kegiatan menguruk dan mengeruk Teluk Benoa tanpa penolakan. Ada apa? Mudah-mudahan tanah/pasir timbunan baru tersebut dibiayai oleh pemerintah dan sepenuhnya dikelola oleh pemerintah dan sama sekali tidak ada informasi kepemilikan yang diserahkan ke pemerintah provinsi ataupun kota/kabupaten.

Baca juga:  Fokus Mitigasi Risiko Global, Suku Bunga Belum Bisa Turun

Proyek gigantik tersebut layak dikaji ulang mengingat luasan wilayah yang diuruk dan konon akan dilengkapi dengan  membangun fasilitas pasar ikan, marina, dan kawasan properti. Fasilitas pasar ikan setidaknya akan didukung oleh ratusan kapal yang akan sandar dan docking. Sedangkan pada kawasan properti dirancang dengan kelengkapan fasilitas seperti pusat perbelanjaan, pusat seni, dan pusat budaya.

Katanya, mereka akan menggandeng investor untuk keperluan tersebut. Semoga saja bukan rubah berbulu domba, maksudnya investor swasta yang ditolak berganti baju masuk melalui baju pemerintah dan Bali akan dapat sampahnya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Angkasa Pura untuk memperluas landasan di Bandara I Gusti Ngurah Rai ke arah barat dengan alasan adanya perhelatan dunia yang dilangsungkan di Bali. Proyek-proyek besar ini sangat diniati dan direncanakan oleh Jakarta dan bukan oleh perencanaan dari Bali. Adakah ini konspirasi antara pemerintah dengan pemodal atau sebaliknya atau bahkan kepentingan politik yang berlindung di balik kekuasaan pemerintah. Banyak kemungkinan dapat saja diungkapkan, namun kejujuran akan membuktikan karmanya karena bumi adalah pertiwi. Bukankah sembah-bakti juga ditujukkan kepada pertiwi, untuk memohon keselamatan kepada-Nya?

Menghadapi situasi pembangunan seperti sekarang ini, selayaknya mengedepankan pemanfaatan sekaligus pengendalian. Keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang adalah wajib, sesuai dengan tujuan penataan ruang yang tercantum pada Perda Nomor 16 Tahun 2009. Oleh karenanya, tidak berlebihan bila sekali lagi digarisbawahi bahwa keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah kabupaten/kota harus menjadi kenyataan dan bukan angan-angan indah. Keseimbangan dan keserasian ini dapat berlangsung jika berlangsung keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor dengan visi peningkatan kualitas ruang.

Penulis, Guru Besar Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *