Warga melakukan aksi tanam mangrove sebagai upaya meningkatkan ruang terbuka hijau dan kawasan hutan. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Polusi udara yang terjadi di kota-kota besar, seperti Denpasar dan Badung Selatan, khususnya Kuta, Seminyak, dan Legian, dominan disebabkan tingginya penggunaan kendaraan pribadi. Dari data BPS, pada 2017, jumlah kendaraan di Bali mencapai 3.907.094 unit. Dibandingkan data 2015 yang mencapai 3.505.984 unit, artinya ada kenaikan jumlah kendaraan sekitar 400 ribu unit dalam dua tahun.

Menilik tingginya angka kepemilikan kendaraan di Bali ini, Direktur Eksekutif Walhi Bali, I Made Juli Untung Pratama, mengutarakan harus ada upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas transportasi umum. “Pemerintah harus memperbaiki tata kelola transportasi publik,” sebutnya, Kamis (25/4).

Ia juga mengatakan polusi udara di Bali saat ini juga diakibatkan makin berkurangnya ruang terbuka hijau dan kawasan hutan. Akibat reklamasi di areal Pelabuhan Benoa yang dilakukan Pelindo, contohnya, mengakibatkan banyak pohon mangrove yang mati.

Sehingga kemampuan pohon mangrove untuk menyerap karbon manjadi berkurang, padahal Bali belum bisa memenuhi kawasan hutan minimal 30 persen sebagaimana yang dimandatkan oleh UU Kehutanan. “Pemerintah juga harus berani menuntut investor untuk melakukan pemulihan kembali terhadap lingkungan hidup yang rusak akibat proyek, seperti reklamasi di pelabuhan benoa oleh Pelindo III, red, tidak menerbitkan perizinan-perizinan yang memicu terjadinya penurunan kualitas udara, serta memenuhi luasan hutan di bali, yang kini 22 persen setidak-tidaknya menjadi 30 persen,” tegasnya.

Baca juga:  Tim Gabungan Denpasar Tertibkan 13 Pedagang Bermobil

Ditambahkannya penanganan polusi udara di Bali sangat urgent jika melihat ketergantungan Bali terhadap sektor pariwisata. Tentu, lanjutnya, penting untuk menjaga alamnya, termasuk di dalamnya kualitas udara. “Jika kualitas udara di Bali buruk apakah wisatawan masih tetap mengunjungi Bali? Itu yang harus diperhatikan. Jangan sampai karena buruknya kualitas udara di Bali, membuat Bali tidak menjadi menarik lagi untuk dikunjungi,” cetusnya.

Pengurangan Asap Rokok

Baca juga:  Cetak Guru Profesional, Undiksha Laksanakan PPL di Negara ASEAN

Meski saat ini asap rokok bukan menjadi polutan utama dari menurunnya kualitas udara, upaya pengurangan asap rokok harus menjadi perhatian bersama. Salah satunya melalui penerapan produk tembakau alternatif yang tidak melalui proses pembakaran. Di sejumlah negara, produk tersebut sudah memiliki peraturan khusus yang terpisah dari rokok.

Berdasarkan laporan Status Global Pengurangan Bahaya Tembakau 2018 (The Global State of Tobacco Harm Reduction/GSTHR) yang bertajuk “Tidak Ada Api, Tidak Ada Asap” (No Fire, No Smoke) sebanyak 62 negara telah menerapkan peraturan bagi produk tembakau alternatif. Beberapa negara tersebut di antaranya Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, dan Kanada.

Laporan yang dipublikasikan per dua tahun tersebut untuk pertama kalinya memetakan ketersediaan dan penggunaan produk nikotin yang lebih rendah risiko, tanggapan peraturan terhadap inovasi ini, dan potensi kesehatan masyarakat dari pengurangan bahaya tembakau melalui penemuan tersebut di ranah global, regional, dan nasional.

Baca juga:  Pengawasan Limbah Diperketat, Badung akan Lakukan Audit Izin Lingkungan Hotel

Berdasarkan proses pemetaan dan studi kasus yang dilakukan, disimpulkan bahwa beberapa negara berhasil menurunkan jumlah perokok melalui pemanfataan penemuan produk nikotin yang lebih rendah risiko atau yang juga dikenal dengan sebutan produk tembakau alternatif. Laporan ini merekomendasikan bahwa pemerintah sebaiknya menelaah mengenai pemanfaatan produk tembakau alternatif dengan risiko yang lebih rendah tersebut secara lebih jauh dan menggunakan produk tersebut sebagai alternatif konsumen rokok.

Produk nikotin yang rendah risiko yang terdiri dari produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar dan rokok elektrik ini menitikberatkan pada pemanfaatan produk tembakau yang mengandung nikotin namun memiliki potensi pengurangan risiko kesehatan yang lebih rendah, karena penggunaannya yang tidak melalui proses pembakaran. Dengan tidak adanya proses pembakaran, zat karsinogenik seperti TAR yang dapat memicu timbulnya penyakit berbahaya pada tubuh dapat tereliminasi. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *