Oleh GPB Suka Arjawa
Dikatakan lucu, ya lucu. Disebut menggelikan, juga ya. Tetapi ini mungkin mengandung pelajaran politik menarik baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Bisa jadi juga generasi nanti tertawa geli melihat fenomena ini. Atau marah besar dengan keadaan ini yang terlalu bermain politik dan mengabaikan kekayaan nasional Indonesia yang melimpah ruah.
Sudah menjadi wacana umum dan terbuka bahwa kandidat nomor urut 02 menyatakan klaim kemenangan dengan 62 persen dibanding pasangan nomor urut 01. Kelebihan klaim ini adalah keberaniannya untuk tampil dan terus bertahan. Padahal dalam hitung cepat yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei, pasangan nomor urut 01 memimpin dengan margin 54 berbanding 45 persen, dan itu konsisten dengan hasil yang didapatkan oleh lembaga survei lainnya.
Akan tetapi, yang menarik dilihat adalah bagaimana langkah kedua belah pihak untuk menenangkan massanya. Meski pasangan 01 dinyatakan unggul oleh lembaga survei, mereka tetap mengatakan akan menunggu hasil dari perhitungan nyata dari Komisi Pemilihan Umum, juga memberi peringatan kepada para pendukungnya untuk tidak terlalu merayakannya. Demikian juga pasangan nomor urut 02. Meski telah merayakan kemenangan dan mengumumkan calon kabinetnya, mereka tetap mengimbau agar para pendukungnya tenang dan menunggu hasil dari KPU.
Dari berbagai real politik pascapemilu bisa jadi ini merupakan puncak dari segala riak politik Indonesia yang terasa dimulai sejak tahun 2014 saat Joko Widodo juga berhadapan dengan Prabowo Subianto. Empat tahun ketegangan politik tersebut, membuat segala gerakan dan fakta politik yang ada di Indonesia terlihat menegangkan. Dan kondisi ini tentu sangat tidak bagus bagi masyarakat. Secara tradisional, masyarakat Indonesia itu mudah sekali menjadi “pengikut atasan”.
Artinya perpecahan dan konflik yang terjadi di kalangan atas secara mudah akan diikuti oleh masyarakat kalangan bawah. Itulah real dinamika sosial di Indonesia. Dengan demikian, menambah lagi konflik elite politik setelah pemilu tahun 2019, boleh dikatakan “dosa” besar para elite yang membuat rakyat tertekan dan terbelah. Dari sisi itulah ada dugaan bahwa segala dinamika politik yang ada sekarang ini merupakan puncak dari konflik tersebut, untuk kemudian tidak ada lagi konflik lanjutan di masa yang akan datang.
Tetap ada cara memandang positif langkah yang dilakukan oleh calon nomor urut 02, meski mengklaim kemenangan dan telah juga mengumumkan calon-calon anggota kabinet yang akan duduk di kabinet Prabowo Subianto periode 2019-2024. Dari sisi sosial psikologis, klaim kemenangan ini akan mempunyai arti penting bagi puluhan juta pendukung Prabowo-Sandi.
Dalam rilis yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei, sejauh ini konsisten Joko Widodo-Ma’ruf Amin mendapatkan 54 persen berbanding sekitar 45 persen atas Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (malah kini bergeser 55-44 persen). Jika pemilu itu diikuti oleh 192 juta pemilih, maka lebih dari 80 juta rakyat Indonesia merupakan pendukung calon nomor urut 02. Ini bukan angka sembarangan, yang kalau diperbandingkan identik dengan jumlah penduduk satu negara, bahkan kumpulan empat negara sekaligus.
Teori-teori post modern menyebutkan bahwa penyebutan klaim kemenangan di tengah keunggulan hitung cepat lawan merupakan strategi klaim politik untuk mempertahankan kepercayaan diri, demi kebenaran subjektif (kebenaran diri sendiri). Teori ini sifatnya spekulatif meski didukung oleh media sosial sebagai senjata utama yang dapat “membenarkan” klaim subjektif itu.
Akan tetapi, bila di bawa menuju ranah politik kemasyarakatan, terutama kepada pendukung, hal itu juga merupakan strategi berguna sebagai pembimbingan sosial. Artinya, klaim ini tetap berguna sebagai garis start untuk memberikan pemahaman kepada pendukung, bahwa bagaimana harus menghadapi sebuah kompetisi dengan segala risikonya. Risiko dalam hal ini akan dilihat pada akhir kompetisi tersebut.
Model ini persis seperti main bola, persis seperti perang atau pertempuran yang dilakukan oleh tentara. Sepak bola meski pertandingan telah habis dan Barcelona dinyatakan menang pada pertandingan itu misalnya, tetapi amat mungkin komisi wasit Eropa akan membatalkan kemenangan apabila terjadi pelanggaran yang luput dari pengamatan sebelumnya. Mungkin Suarez yang kena kartu merah sebelumnya ternyata dimainkan, dan (misalnya) Barcelona dinyatakan kalah kemudian.
Pada bidang politik, mirip dengan Timor Timur. Indonesia jelas menang pertempuran, menang politik, dan mengintegrasikannya dengan Indonesia awal dekade tujuhpuluhan. Tetapi politik internasional terus berjalan. Tahun 1999 plebisit memenangkan Timor Leste, dan Indonesia secara jantan mengakui itu dan kembali bersahabat dengan Timor Timur.
Di masa penghitungan suara KPU sampai tanggal 22 Mei 2019 ini adalah masa tunggu, di mana “pertandingan” masih tetap berjalan. Siapa saja bisa mengangkat tangan menyatakan kemenangan. Masih menunggu riak-riak kesalahan lawan yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Karena itu, dari titik ini move mereka dapat dipakai sebagai sebuah upaya pembinaan bagi elite kandidat nomor urut 02 kepada para pendukungnya. Puluhan juta pendukung itu memang harus diberikan pembimbingan, jika seandainya kelak data yang diberikan berbagai lembaga hitung cepat itu benar adanya. Ketika Prabowo Subianto mengumumkan calon kabinetnya, tidak secara jelas dikatakan siapa yang mengisi jabatan apa, dan siapa yang menjadi menteri apa.
Akan tetapi orang-orang yang dikumpulkan itu bukanlah sembarangan. Mereka adalah politisi kawakan, ekonom handal, intelektual mumpuni. Dilihat dari situ, rasanya sulit mengatakan kalau kumpulan para tokoh itu tidak mengerti bagaimana peran dan hasil dari hitung cepat lembaga sirvei yang mengunggulkan pasangan nomor urut 01. Tetapi mengapa mereka bersedia duduk ramai-ramai di sana?
Mungkin itulah jawabannya, bahwa kumpulan elite itu akan mempersiapkan diri sebagai pembimbing sosial kepada para pendukung. Dan jika memang kelak benar-benar hitung nyata KPU memenangkan pasangan kandidat nomor urut 01, mereka akan mengakuinya secara bersama-sama, jantan, dan mengajak 80 jutaan para pendukungnya ikut memberikan salam secara sportif, dan dengan demikian semua ketegangan yang dialami masyarakat Indonesia sudah selesai, sudah tuntas.
Mudah-mudahan dugaan ini benar, mudah-mudahan tidak sampai ke Mahkamah Konstitusi dan seluruh rakyat Indonesia dapat melihat final Liga Champions beberapa hari setelahnya secara tenang sebagai sebuah tontonan bola bermutu tanpa harus diintervensi politik.
Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana