Para petani di Banjarangkan saat memulai bercocok tanam. (BP/gik)

 

Erupsi Gunung Agung menyebabkan ekonomi Bali sedikit shock. Pariwisata Bali turun drastis. Hunian hotel juga terjun bebas. Kedatangan penumpang di Bandara Ngurah Rai turun 50 persen. Ini tentu harus menjadi catatan. Bahwasanya Bali harus mengembangkan sektor lain di luar pariwisata.

Sektor holtikultura dan perikanan, dua di antaranya yang perlu dikejar. Keduanya memiliki potensi untuk dikembangkan serta memiliki pasar yang kuat.

Berkaca dari kondisi tersebut, Bali jangan lagi hanya bertumpu pada pariwisata. Ada sektor lain, utamanya pertanian dalam arti luas yang memiliki prospek cerah. Sektor perikanan salah satunya. Komoditi perkebunan juga menjanjikan. Kopi dan kakao, potensi yang menarik untuk dikembangkan.

Apalagi kakao dan kopi Bali sudah terkenal kualitasnya di luar negeri. Demikian pula wilayah perkebunan di Buleleng, Jembrana, Bangli dan Tabanan masih sangat luas. Tentu akan menjadi modal utama bila pengembangannya dipusatkan di wilayah tersebut.

Baca juga:  Memanusiakan Manusia Seutuhnya

Dengan kondisi itu, tak pelak pertanian harus menjadi alternatif untuk dikembangkan, selain pariwisata. Apalagi kontribusi pertanian Bali terhadap sektor pariwisata masih sangat minim. Jadi sangat potensial untuk segera bersinergi demi kemajuan ekonomi Bali yang merata.

Syaratnya harus ada komitmen dan kemitraan yang jelas antara pelaku pariwisata dengan petani. Selain itu, komitmen para pengambil keputusan juga harus memihak petani. Banyak contoh komitmen memberdayakan petani masih sangat kurang. Di antaranya belum hadirnya pemerintah dalam penanganan pascapanen. Padahal masalah petani saat ini berada pada penanganan pascapanen.

Baca juga:  Semua Pencoblos adalah Pemilih Cerdas

Rendahnya penanganan pascapanen menjadi salah satu alasan produk pertanian susah masuk di sektor perhotelan. Selain kualitas juga kontinyuitas sering menjadi penghambat. Karenanya pemerintah harus hadir menjembatani kepentingan petani tersebut.

Syukur Gubernur Koster sudah mengeluarkan Pergub yang mengatur buah lokal. Artinya telah diterbitkan regulasi dan pemerintah sudah hadir untuk menjembatani kepentingan tersebut. Tinggal sekarang pemerintah memperhatikan dalam penyediaan teknologi. Salah satunya penyediaan ruang penyimpanan yang berpendingin. Beberapa kabupaten pernah mewacanakan pengadaan teknologi tersebut, namun sampai saat ini belum ada realisasinya.

Berbeda saat masa tanam. Petani digelontor banyak bantuan. Sebut saja bibit. Pemerintah memberikan bibit sejumlah komoditi secara gratis. Demikian pula pupuk. Pemerintah menggelontorkan subsidi pupuk. Bahkan untuk pupuk organik pemerintah daerah membantu secara cuma-cuma.

Baca juga:  Pertama Kali Terjadi, Pertumbuhan Wisman ke Bali Minus

Kalau pola ini masih diterapkan, maka program pemerintah membantu bibit dan pupuk akan sia-sia. Sebab, petani tidak bisa melakukan pengolahan pascapanen. Jadi pemerintah harus hadir dalam penanganan pascapanen, termasuk hadir mendekatkan petani dengan dunia usaha.

Selain pasar dan teknologi, pemerintah juga mendorong SDM Bali untuk bergelut pada pertanian. Namun persoalan itu akan segera terjawab apabila pemerintah mampu memberikan kesejahteraan pada petani. Artinya, apa yang dihasilkan petani bisa terserap pasar dengan harga yang menguntungkan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *