Ilustrasi siswa. (BP/dok)

Oleh Romi Sudhita

Belakangan ini, lidah orang agak latah (dalam arti yang positif) menyebut sesuatu sebagai harga mati. Misalnya, Pancasila harga mati, NKRI harga mati, pacaran lanjut nikah harga mati, dan seterusnya.

Tanpa membuka kamus, maksud ‘’harga mati’’ itu sudah bisa ditebak yaitu istilah lain dari tidak bisa ditawar-tawar. Mau tidak mau harus. Pokoknya segini, pokoknya segitu, pas tak bisa diganggu gugat lagi. Merujuk judul tulisan ini justru makna yang tersirat di dalamnya adalah bukan harga mati, artinya putus sekolah masih bisa ditawar-tawar malah jika mungkin tidak sampai terjadi putus sekolah.

Kalau toh terjadi putus sekolah (drop out), itu pun dalam keadaan terpaksa, sebab strategi maupun cara yang ditempuh agar tak putus sekolah sudah tidak mempan lagi. Di Buleleng, penanganan putus sekolah ditempuh dengan membuka ‘’Posko Siswa Drop Out’’. Penanganan putus sekolah menurut Kadisdikpora Gede Suyasa ketika itu (Oktober 2018) menjadi program prioritas.

Oleh karena itu, pelaksanaan Posko DO (drop out) di masing-masing kecamatan terus digenjot, bukan sebatas untuk memberikan bantuan seragam sekolah tetapi juga pemberian beasiswa. Dengan bersumber dari dana APBD, setiap siswa diberikan beasiswa Rp 1.200.000 per tahun untuk anak SMP (Bali Post, 11 Oktober 2018).

Kalau demikian halnya, lalu putus sekolah atau drop out itu apa? Sebelum mengulas tentang putus sekolah, ada baiknya disinggung mengenai pengertian belajar karena siswa di sekolah pada umumnya atau sebagian besar waktunya dipakai untuk belajar.

Secara sepintas siapa pun bisa membuat definisi tentang belajar. Orang menjadi pintar yang sebelumnya kurang pintar, itu berkat belajar. Belajar adalah kegiatan siswa atau siapa saja agar dirinya menjadi pintar, pandai, dan terampil. Secara akademik, pengertian belajar disinggung pula oleh Muhibbin Syah dalam bukunya ‘’Psikologi Belajar’’ (2011:68), bahwa belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.

Secara institusional (tinjauan kelembagaan) belajar dipandang sebagai proses validasi atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah mereka pelajari. Konkretnya, siswa atau murid bisa dikatakan berhasil belajar jika yang bersangkutan telah dinyatakan lulus mengikuti ulangan-ulangan dan ujian akhir pada lembaga pendidikan/sekolah tersebut.

Baca juga:  Merawat Kesadaran dan Tanggung Jawab Berbangsa

Internal-Eksternal

Faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan belajar cukup variatif yang apabila digolong-golongkan akan ketemu dua bagian besar yaitu faktor yang bersifat internal dan faktor eksternal. Faktor internal biasa disebut sebagai segala sesuatu yang datangnya dari dalam diri individu siswa, sedangkan faktor eksternal diidentifikasi sebagai hal-hal yang berada di luar diri siswa bersangkutan.

Kalau ditemui siswa atau anak tetangga yang kebetulan prestasi belajarnya menurun terus dengan nilai yang di bawah minimal, maka penyebabnya bisa diduga tergolong faktor internal karena dalam keseharian ia mengonsumsi makanan yang asupan gizinya kurang. Bahkan, frekuensi makannya pun tidak teratur lantaran ia berasal dari keluarga tidak mampu.

Berikutnya, siswa yang dalam keadaan sakit dalam kurun waktu yang cukup lama sangat mungkin memengaruhi konsentrasi belajarnya yang secara tidak langsung akan menurunkan prestasi belajarnya. Contoh lain tentang faktor internal ini masih banyak dan tidak sulit kita temukan pada anak yang berada di lingkungan kita. Lebih-lebih seorang guru BK (Bimbingan Konseling) yang sangat peka terhadap kondisi dan permasalahan belajar siswa amat mudah dapat mendeteksinya secara dini.

Faktor eksternal tentu saja kebalikan dari faktor internal. Sesuai dengan sebutan eksternal terkandung makna semua hal yang ada di luar diri siswa. Saking banyaknya sesuatu yang ada di luar diri siswa, maka banyak orang yang mengelompokkan menjadi tiga golongan besar yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.

Kebetulan pula ketiga lingkungan ini diberikan label oleh tokoh pendidikan nasional kita yakni Ki Hajar Dewantara, sebagai Tri Pusat Pendidikan. Artinya, ketiga kelompok atau golongan ini sangat mungkin dapat memengaruhi proses dan hasil belajar siswa. Lingkungan pertama adalah keluarga.

Sebelum anak itu bersekolah, ia dipelihara, dibimbing, dan dibina oleh segenap person yang ada di dalam keluarga tersebut. Entah itu ayah, ibu, sesama saudara, misan mindon, kakek nenek (jika ada), yang semuanya itu ikut memberikan corak perjalanan si anak terutama dari segi pendidikannya. Disebabkan oleh pendidikan yang diterima sang anak tidak berstruktur, kurang sistematis dan tidak menggunakan jadwal resmi sebagaimana halnya di sekolah, maka pendidikan yang diterima sang anak dalam keluarga disebut pendidikan informal.

Baca juga:  Empat Napi Terorisme Nyatakan Sumpah Setia Kepada NKRI

Segala kebiasaan, norma, dan tata tertib yang mengarah pada pendidikan budi pekerti diterima oleh anak baik ketika belum berstatus siswa maupun sudah menyandang predikat siswa suatu sekolah. Orangtua yang sering menunjukkan perilaku radikal secara cepat kilat ditiru oleh si anak.

Begitu pula sebaliknya, jika keluarga selalu menekankan pada sikap yang terpuji seperti mengedepankan kejujuran, kesopanan, dan sebagainya, akan ditiru oleh anak. Lingkungan kedua adalah sekolah. Pada sekolah itulah anak akan menjadi semakin cerdas, pintar, dan pandai berkat jasa-jasa pendidikan yang diberikan oleh bapak ibu guru. Dan, lingkungan yang terakhir/ketiga adalah masyarakat.

Si anak selain ditempa oleh keluarga dan para guru di sekolah, juga yang tak kalah penting adalah orang-orang yang berada di masyarakat, entah itu teman sebaya, orang-orang dari organisasi kepemudaan, kelompok sekaa teruna-teruni, dan sebagainya yang semuanya dapat memberikan andil kepada si anak dan dapat memberikan corak dan imbas hasil belajar mereka.

Putus Sekolah

Anak atau siswa dalam belajar di sekolah bisa saja menentukan target akan lulus tepat waktu, memperoleh juara pada setiap kenaikan kelas, menjadi siswa yang paling berprestasi, dan lain-lain, namun fakta menunjukkan sering terjadi sebaliknya. Siswa memiliki prestasi akademik rendah, kurang fokus pada pelajaran, dan sering bolos pada jam-jam pelajaran tertentu.

Malah yang bersangkutan dicap sebagai anak yang putus sekolah. Dengan status yang disandangnya sebagai anak putus sekolah, tentu membuat keluarganya geram, malu, dan kecewa bercampur menjadi satu. Orang sering bertanya, putus sekolah itu apa sih? Tentang definisi putus sekolah, sudah banyak ahli yang mengemukakannya. Surya (1975), misalnya, memberikan pengertian bahwa putus sekolah tidak lain dari kegagalan murid/siswa dalam menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu.

Baca juga:  Jengah Melawan Covid-19

Putus sekolah bisa terjadi lantaran tidak tamat (misalnya di SD), yang bersangkutan hanya mampu sampai di kelas lima (5). Kemudian ada pula putus sekolah yang gagal menamatkan pelajarannya di ujung jenjang. Meski sudah sempat ikut ujian akhir (Ujian Nasional/UN), seperti anak kelas tiga (3) SMP yang sudah sempat ikut UN namun tidak lulus lalu putus sekolah. Dan, ada pula jenis putus sekolah yang gagal melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Contoh, sebut saja anak itu bernama Nyoman, sudah tamat SMP berijazah kemudian tidak mampu melanjutkan sekolah ke SMA atau SMK.

Solusi

Apabila direnungkan secara mendalam, kira-kira penyebab putus sekolah itu apa? Jawaban yang paling gampang, ya… itu tadi tergantung pada tiga jenis lingkungan. Bisa faktor keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Namun jika penelusuran kita diteruskan lagi, bisa saja penyebab putus sekolah secara lebih detail misalnya karena faktor ekonomi (orangtuanya miskin).

Otak si anak sudah encer, tetapi lantaran faktor kemiskinan akhirnya si anak putus sekolah. Atau, bisa juga yang lain. Si anak sudah tergolong pintar, orangtuanya berkecukupan, tahu-tahu yang bersangkutan (anak) kurang berminat bersekolah.

Solusi atas permasalahan putus sekolah tersebut, banyak yang dapat dilakukan seperti; memberikan pembinaan, nasihat, pendampingan dalam belajar, dan yang tak boleh diabaikan yaitu faktor komunikasi. Terutama sekali komunikasi yang efektif antara anak dengan gurunya di sekolah dan antara anak dengan orangtuanya sendiri.

Sering terjadi komunikasi yang kurang serasi membuat anak kurang berminat dalam belajarnya, ogah pergi ke sekolah, yang ujung-ujungnya berimbas pada putus sekolah. Yang terpenting bagi orangtua si anak jangan putus sekolah itu dipandang sebagai harga mati. Sebab, segalanya masih bisa dirundingkan, dicairkan, dan didiskusikan agar anak jangan sampai putus sekolah.

Penulis, pemerhati pendidikan dan pengamat perilaku

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *