menulis
Siswa SD sedang belajar di kelas. (BP/dok)

Setiap tahun perdebatan angka putus sekolah selalu ramai. Kepedulian dan keprihatinan berbaur. Meskipun setiap tahun diperdebatkan tetap saja tak ada solusi yang efektif. Deretan anak putus sekolah tetap tinggi. Problem ini pun sempat dikelola dengan pendekatan politik.

Muncullah wacana pendidikan gratis. Pendidikan gratis yang condong dengan peningkatan elektabilitas calon juga tak serta merta mudah dalam penjabarannya. Kesulitan mendapatkan sekolah tetap menjadi kenyataan. Setiap tahun, rebutan bangku sekolah negeri menjadi masalah publik. Inilah yang harus dijabarkan lebih lanjut agar negeri ini benar-benar berkeadilan dalam memberikan kesempatan kepada generasi bangsa untuk menikmati pendidikan.

Yang jelas, sampai saat ini, program politis pendidikan gratis ini menimbulkan beragam persepsi. Ada yang setuju dan ada juga yang mempertanyakan implementasinya. Ketika pendidikan dinyatakan menjadi hak setiap warga negara, maka menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menata dan menyiapkan fasilitas pendidikan.

Baca juga:  Menentang Transaksi, Jadilah Pemilih Cerdas

Masalah krusial yang dihadapi pendidikan dalam negeri ini adalah rendahnya daya tampung sekolah-sekolah negeri. Akibatnya, banyak anak yang tercecer dan tak mendapat ruang belajar yang nyaman atau setidaknya sesuai dengan tingkat kehidupan ekonominya.

Untuk itulah, ke depan, negara ini hendaknya lebih serius menangani masalah pendidikan. Besarnya jumlah anak putus sekolah perlu menjadi prioritas kerja pemerintah, sekolah, dan orangtua. Bercermin dari  tingginya angka putus sekolah ini ada banyak hal yang mesti diurai pemerintah, maka terobosan nyata harus dilakukan.

Pemerintah jangan terus berwacana untuk mengatasi angka putus sekolah melainkan segera optimalkan pemetaan solusi untuk memastikan anak-anak usia sekolah berada di bangku sekolah. Pemerintahan desa mungkin bisa dilibatkan untuk sejak awal mendata warganya yang berpotensi putus sekolah karena alasan ekonomi maupun alasan lainnya.

Baca juga:  Tak Sekadar Pergub

Berdasarkan data yang ada lalu dibuatkan program dan antisipasi. Dengan kebersamaan dan pelibatan banyak pihak dalam menekan usia anak putus sekolah maka ada harapan yang terukur untuk mengatasi masalah ini.

Selama ini, yang kita tahu bahwa kemiskinan, masalah akut negeri ini. Dan kemiskinan tentu menjadi alasan utama mengapa anak-anak putus sekolah. Pengoptimalan KIP dan peningkatan pendidikan vokasi mungkin juga bisa menjadi solusi dalam hal ini.

Solusi atas permasalahan putus sekolah tersebut, banyak yang dapat dilakukan seperti; memberikan pembinaan, nasihat, pendampingan dalam belajar, dan yang tak boleh diabaikan yaitu faktor komunikasi. Terutama komunikasi yang efektif antara anak dengan gurunya di sekolah dan antara anak dengan orangtuanya sendiri.

Sering terjadi komunikasi yang kurang serasi membuat anak kurang berminat dalam belajarnya, ogah pergi ke sekolah, yang ujung-ujungnya berimbas pada putus sekolah. Yang terpenting bagi orangtua si anak jangan putus sekolah itu dipandang sebagai harga mati. Sebab, segalanya masih bisa dirundingkan, dicairkan, dan didiskusikan agar anak jangan sampai putus sekolah.

Baca juga:  Putus Sekolah Bukan Harga Mati

Mungkin juga bisa dipertimbangkan membudayakan orangtua asuh bagi para pejabat di daerah dan pengusaha sukses untuk memastikan anak-anak usia pendidikan tertampung di sekolah. Setingkat gubernur, bupati, dan anggota DPRD bisa saja memiliki sejumlah anak asuh anak-anak putus sekolah.

Mungkin juga program ini sudah banyak dilakukan para pejabat, namun tetap harus digaungkan agar program anak asuh untuk menekan anak putus sekolah bisa menjadi komitmen bersama. Gerakan nasional orangtua asuh bisa dibangkitkan lagi untuk mengatasi hal ini. Mudah-mudahan negeri dengan dua ratus juta penduduk ini tak menumpuk beban dan masalah pendidikan, tanpa ada upaya yang tersistem untuk mengatasinya.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *