PPDB
Suasana PPDB. (BP/dok)

Oleh Agung Kresna

Ritual tahunan berjuluk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Indonesia mulai bergulir. Para stakeholder, utamanya orangtua murid dan penyelenggara pendidikan untuk tingkat SMP dan SMA/SMK mulai disibukkan dengan upaya memahami peraturan yang ada. PPDB di Indonesia selama ini selalu saja diwarnai dengan karut-marut peraturan yang selalu berubah setiap tahunnya.

Jika PPDB 2018 acuannya adalah Permendikbud RI Nomor 14 Tahun 2018, maka pada PPDB 2019 semua mengacu pada Permendikbud RI Nomor 51 Tahun 2018. Meski tetap mengacu pada sistem zonasi (pertimbangan jarak tempat tinggal calon murid dengan sekolah) pada sistem seleksinya, namun ada beberapa modifikasi penyempurnaan seleksi.

Kali ini, tidak ada lagi kuota dengan penggunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) orangtua murid, karena realitanya pada tahun 2018, SKTM justru mewarnai sengkarut PPDB saat itu. Sistem kuota minimal murid yang wajib diterima sekolah kali ini menggunakan jalur zonasi dengan kuota minimal 90 persen, jalur prestasi kuota maksimal 5 (lima) persen, dan jalur perpindahan tugas orangtua/wali murid dengan kuota maksimal juga 5 (lima) persen.

Banyak rincian detail yang harus disusun dalam implementasi sistem pendaftaran/seleksi dengan pola jalur zonasi memang sangat diperlukan, agar tidak terjadi pemahaman yang berbeda antara pihak sekolah dengan orangtua murid tentang amanat yang ada dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tersebut. Seperti adanya klausul seleksi prioritas bagi pendaftar yang lebih awal, jika terjadi jarak yang sama atas tempat tinggal para calon peserta didik, pada pendaftaran pola jalur zonasi.

Baca juga:  Korupsi dan Masyarakat Religius

Permasalahan seleksi penerimaan siswa baru yang pada beberapa tahun berselang bersandar pada Nilai Ebtanas Murni (NEM) — kemudian berubah menjadi Ujian Nasional (UN) — telah memunculkan adanya stigma sekolah favorit. Hal ini akibat adanya ketimpangan kualitas siswa baru yang cenderung mengelompok pada sekolah tertentu. Melalui sistem zonasi, kualitas siswa baru yang menonjol akan terdistribusi di semua wilayah sesuai tempat tinggal mereka.

Zonasi Ruang Kota

Realitasnya keberadaan lokasi sekolah sebagai fasilitas pendidikan yang dituju para calon peserta didik baru belum tersebar secara merata mengikuti proporsi hunian penduduknya. Lokasi sekolah masih banyak yang terkumpul dalam suatu lokasi tertentu. Kondisi ini terjadi karena selama ini lokasi sekolah (sesuai jenjang pendidikan yang ada) tidak ditempatkan dengan mengacu pada proporsi penduduk yang dilayaninya.

Memang selama ini ada kesan abai dari pemerintah dalam penempatan lokasi sebuah sekolah. Tidak sedikit sekolah berkualitas baik yang cenderung terkumpul pada sebuah kawasan permukiman elite.

Sementara di daerah kawasan padat penduduk yang relatif kumuh dan banyak dihuni penduduk berpenghasilan terbatas, justru minim dengan fasilitas pendidikan yang berkualitas. Keberadaan sekolah sebagai fasilitas publik bidang pendidikan, sering tidak mengikuti panduan zonasi Tata Ruang Kota/Wilayah yang dipersyaratkan.

Sebenarnya, penempatan segala jenis fasilitas publik dalam suatu kawasan permukiman, sudah diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan yang diterbitkan Badan Standardisasi Nasional Indonesia (BSNI).

Baca juga:  Pendidikan Bahasa Penegak Hukum

Dalam SNI tersebut dipersyaratkan bahwa satu SMP harus ada dalam permukiman dengan 25.000 jiwa, dengan jarak tempuh siswa maksimal 1.000 meter. Sementara SMA harus ada dalam permukiman yang dihuni 30.000 jiwa, dengan jarak tempuh maksimal 3.000 meter.

Zonasi dalam Rencana Tata Ruang Kota/Wilayah (RTRK/W) merupakan gambaran penyebaran kelompok fasilitas publik bagi warga masyarakat. Adanya zonasi akan menciptakan keseimbangan pelayanan publik atas berbagai fasilitas negara yang memang disiapkan untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan sendirinya zonasi juga menggambarkan jangkauan layanan fasilitas publik yang ada.

Zonasi ruang kota menjadi tatanan yang harus dipatuhi seluruh stakeholders agar apa yang menjadi tujuan dalam RTRK/W dapat tercapai. Pada kelanjutannya, warga kota akan menikmati layanan fasilitas publik secara merata sesuai tuntutan kebutuhan yang ada. Ada beberapa yang harus menjadi catatan dalam mengendalikan zonasi tata ruang kota.

Pertama, Rencana Tata Ruang Kota/Wilayah harus menjadi panduan bagi para penentu kebijakan penyediaan fasilitas publik, sehingga penempatan lokasinya sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam SNI nomor 03-1733-2004. Pada gilirannya, segenap warga dapat terlayani dengan baik dan adil jika segala fasilitas publik utamanya fasilitas pendidikan sesuai dengan standar Tata Ruang Kota/Wilayah yang ada.

Kedua, zonasi ruang kota untuk fasilitas pendidikan harus tidak membedakan antara sekolah negeri dan swasta sehingga ada kesetaraan di antara keduanya. Keberpihakan yang sama dari pemerintah selaku pengampu pendidikan nasional kepada sekolah negeri dan swasta, akan menjadikan sekolah swasta dapat berperan sebagaimana sekolah negeri; tanpa pemerintah perlu melakukan pengelolaan sekolah swasta.

Baca juga:  Perjanjian Kawin, Titik Temu Politik Agraria

Ketiga, keberadaan Rencana Tata Ruang Kota/Wilayah tidak boleh terlalu sering dilakukan revisi dengan argumen bahwa realitas tata ruang yang ada sudah tidak sesuai dengan zonasi yang diatur dalam RTRK/W. Karena acap kali justru revisi ini yang sering menjadikan kita kurang teguh berpegang pada zonasi yang sudah ditentukan. Kondisi ini sering terjadi akibat pelanggaran terhadap zonasi tata ruang tidak segera ditindak.

Pendidikan bagi masyarakat menjadi kunci dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Khususnya di Bali, perlu membangun SDM Bali unggul agar memiliki kualitas profesional, berintegritas, dan berdaya saing. Sehingga perlu dikembangkan pendidikan yang lebih berkarakter dengan membangun integritas moral dan jati diri. Sekaligus upaya menghapus kesenjangan pendidikan melalui pemenuhan standar pendidikan yang merata.

Revitalisasi pendidikan di Indonesia memang sangat diperlukan saat ini. Di satu sisi, tenaga pendidiknya harus menjadi insan kreatif dalam melakukan kegiatan pendidikan yang inspiratif di sekolah, sehingga dapat menggali potensi yang dimiliki masing-masing siswa. Sedang siswa didik sebagai insan yang menjalankan proses belajar, harus memiliki niat kuat dalam upaya mengembangkan diri. Tanpa niat mengembangkan diri, niscaya akan muncul SKTM asli tapi palsu sebagaimana dalam sengkarut PPDB 2018.

Penulis, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *