DENPASAR, BALIPOST.com – Rencana untuk membuat rancangan Perda tentang Perlindungan Tenaga Kerja Lokal mulai dibahas oleh eksekutif dan legislatif di DPRD Bali, Selasa (7/5). Keberadaan perda dinilai penting lantaran ada banyak masalah ketenagakerjaan di Bali. Regulasi ini sekaligus untuk melengkapi aturan tentang ketenagakerjaan di tingkat nasional.
“Kita perlu membuat perda tentang perlindungan ketenagakerjaan di Bali. Satu, menyangkut tentang sistem pengupahan yang selama ini hanya memakai upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota,” ujar Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Parta.
Itupun, lanjut Parta, banyak perusahaan di kabupaten/kota tidak mengikuti upah minimum provinsi. Padahal, UMP adalah patokan terkecil untuk menyusun upah minimum di kabupaten/kota. Masih ada tenaga kerja yang hanya dibayar Rp 1,5 juta atau bahkan Rp 800 ribu.
“Kedua, menyangkut hubungan tenaga kerja dan perusahaan. Masih banyak perusahaan yang mempekerjakan karyawannya dengan sistem kontrak, pekerja harian atau DW. Seharusnya pekerjaan yang tidak di-outsourcing-kan, malah di-outsourcing-kan,” imbuh Politisi PDIP ini.
Parta menambahkan, rancangan perda juga akan memuat tentang parameter nilai atau angka yang diberikan ketika menentukan jumlah gaji untuk pekerja. Pihaknya akan memasukkan komponen lokal, yakni kebutuhan hidup layak dikaitkan dengan faktor sosial-budaya.
“Komponen sosial-budaya dimasukkan sebagai bagian dari kebutuhan hidup layak, sehingga upah pekerja di Bali lebih layak,” jelasnya.
Solusinya, Parta menyebut akan dibuat bentuk pengupahan dengan sistem sektoral. Utamanya pada beberapa sektor yang menonjol di Bali, seperti pekerja pariwisata, pekerja industri kreatif, dan lainnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali, Ida Bagus Ngurah Arda mengaku sudah melakukan pengawasan secara berkala ke perusahaan-perusahaan. Terutama menyangkut masalah upah, dengan harapan upah dibayar minimal sesuai UMK atau UMSK (Upah Minimum Sektoral) khusus di Badung.
“Karena terbatasnya tenaga pengawas kita, hanya 25 orang, di lain pihak perusahaan yang kita awasi 11.053. Jadi, prioritasnya adalah perusahaan-perusahaan yang ada masalah,” ujarnya.
Terkait sistem outsourcing, Arda menyebut dimungkinkan dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun terbatas pada pekerjaan yang sifatnya tidak tetap, seperti security, cleaning service, tukang kebun, sektor transportasi, dan pertambangan. Di luar lima jenis pekerjaan itu, dikatakan tidak boleh. “Kita sedang mengkaji untuk menambah tenaga pengawas. Di samping jumlahnya sedikit, sebagian besar sudah berumur,” imbuhnya. (Rindra Devita/balipost)