SINGARAJA, BALIPOST.com – Sekitar 100 warga Desa Pakraman Dharmajati, Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng datang ke Pengadilan Negeri (PN) Singaraja Selasa (7/5). Kehadiran warga memberi dukungan moril terkait mediasi gugatan sengketa tanah yang disertifikatkan oleh perorangan.
Warga meminta tanah seluas 13.5 are yang disertifikatkan itu dikembalikan kepada desa pakraman. Alasannya karena, permohonan sertifikat itu cacat hukum dalam penentuan batas-batas dengan tanah milik perorangan.
Warga berpakaian adat madya itu tiba menaiki sepeda motor, mobil pribadi, dan truk diiringi gong beleganjur. Di halaman PN, warga berorasi dan membentangkan sepanduk yang pada intinya Desa Pakraman keberatan tanah tersebut disertifikatkan.
Warga meminta tanah itu dikembalikan untuk kepentingan di Desa Pakraman Dharmajati. Warga siap mempertahankan tanah itu dan tidak memberikan kepada siapapun warga yang ingin menguasai sebagai milik pribadi.
Saat mediasi dibuka, hanya perwakilan warga yang diizinkan masuk ke dalam gedung. Sedangkan warga lain menunggu di halaman depan gedung PN.
Kelian Desa Pakraman Dharmajati, Tukadmungga Jro Ketut Wicana mengatakan, sengketa ini bergulir sudah lama. Warga mengetahui tanah di kawasan Pantai Hepi Desa Tukadmungga itu disertifikatkan oleh Wayan Angker. Tanah milik Wayan Angker sebanarnya di sebelah selatan beberbatasan di utaranya dengan tanah Desa Pakraman Dharmajati.
Secara turun temurun warga mengetahui tanah itu aset desa pakraman untuk melaksanakan upacara agama.Meski diketahui milik desa pakraman, namun Wayan Angker menyertifikatkan tanah pelaba pura seluas 13,5 are tersebut.
Keberatan dengan pensertifikatan itu, warga sepakat menggugat Wayang Angker ke PN Singaraja. Sebelum menempuh jalur hukum, desa pakraman dengan Wayan Angker melakukan tiga kali mediasi di kantor Perbekel Desa Tukadmungga dan di Kecamatan Buleleng.
Mediasi itu gagal menyelesaikan masalah, sehingga sengketa ini kemudian bergulir ke PN Singaraja sejak Februari 2019 yang lalu dengan didampingi Kuasa Hukum Gede Indria. “Tanah itu warisan turun temurun pendahulu kami. Dulu ada warga kami yang diizinkan tinggal di sana, tetapi karena Pak Wayan Angker punya tanah di belakangnya warga digusur. Kami sepakat untuk mempertahankan tanah itu karena difungsikan ketika ada upacara melasti atau upacara agama lain,” katanya.
Tergugat Wayan Angker sebelum sidang mediasi mengatakan, pada Januari 1979 dirinya membeli tanah dari almarhum Wayan Saria asal Dea Pemaron namun kesehariannya yang tinggal di Desa Tukadmungga. Dalam akte jual beli tercantum dua bidang tanah masing-masing seluas 2.650 meter persegi dan 8.050 meter persegi. Ia kemudian mengajukan permohonan sertifikat ke Badan Pertanahanan Nasional (BPN) dan karena berkasnya lengkap shingga Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dimohon itu terbit.
Terkait gugatan oleh warga, Wayan Angker menyerahkan kepada PN. “Sah-sah saja kalau ada pengakuan seperti itu dan ini maish tahap sengketa dan menunggu pembuktian dan saya menyerahkan proses ini kepada PN dan soal sertifikat atau keputusan mengembalikan tanah itu saya serahan kepada BPN,” jelasnya. (Mudiarta/balipost)