Wisatawan asing saat berkunjung ke objek wisata Taman Soekesada Ujung, Karangasem. (BP/nan)

Pariwisata Bali tak diduga banyak mengalami perubahan. Ketika pariwisata dengan sistem konvensional, banyak travel agent yang hidup di Indonesia dikelola oleh warga luar Bali yakni Jakarta. Bahkan, cenderung lebih banyak dikendalikan oleh warga asing. Pada era 1980-an hingga 1990-an, yang banyak menikmati dolarnya pariwisata Bali justru orang luar Bali.

Masyarakat Bali yang notabene adalah pendukung budaya Bali hanya menjadi objek bagi pariwisata. Pasnya disebut Bali untuk pariwisata, bukan pariwisata untuk Bali. Jadilah Bali dieksploitasi untuk pariwisata.

Pokoknya asal ada pembebasan tanah untuk pariwisata, segala izin dan urusan cepat tuntas. Sementara petani yang pemilik lahan mau menyertifikatkan tanahnya sulitnya luar biasa. Makanya jangan heran banyak lahan produktif di Bali pada era tersebut untuk sektor pariwisata.

Baca juga:  Pendekatan Budaya dalam Memproteksi Kawasan Hulu

Kini, pada era digital, hampir 80 persen travel yang masih konvensional kalah bersaing dengan travel sistem online. Jika ingin tak terlindas dari kemajuan teknologi, semua komponen dan pendukung pariwisata harus dan wajib berbasis digital.

Nah, siapa yang cepat dia yang menang. Siapa yang murah dia juga yang menang. Buktinya dengan aplikasi digital, kini tiket, hotel dan paket hiburan di pariwisata bisa dijual dengan harga lebih murah dibandingkan dengan paket ala konvensional.

Dunia dan industri transportasi pariwisata pun wajib  berbasis digital jika tak mau gulung tikar. Dengan berbasis digital, semua barang dan jasa yang ditawarkan bisa diuji langsung.

Tinggal memilih level mana yang dipilih murah, sedang, atau mahal. Misalnya untuk menyewa bus pariwisata, kita bisa menentukan berbagai jenis dan kapasitas lengkap dengan warnanya. Sebelumnya, kita menyewa bus pariwisata seperti membeli kucing dalam karung, tak jelas kualitas dan tak pasti kendaraannya.

Baca juga:  Modal Dasar Pemerintahan Baru

Nah, jiika komponen lain sudah berbasis digital, yang perlu kita pertanyakan mengapa pajak hotel dan restoran juga belum berbasis digital. Konon, aplikasi ini sengaja diundur-undur agar para pemegang kebijakan bisa ‘’bermain’’.

Sebab dengan pungutan pajak online semuanya jelas, siapa saja yang sudah bayar, berapa penerimaan dan berapa tunggakan. Dananya juga jelas dan bisa diawasi publik. Dua hal inilah yang justru dinilai dihindari oleh para pejabat.

Kita setuju dengan Perda Desa Adat yang sedang dibahas di DPRD Bali guna memperluas desa adat dan peran krama Bali di sektor ekonomi termasuk adat. Coba bayangkan, krama adat dan warga bali hanya bisa mengelola iuran parkir dan sewa selempot bagi wisatawan yang mengunjungi sebuah objek wisata di sebuah wilayah desa adat.

Baca juga:  Memandirikan Ekonomi Desa

Kini bila perlu dibuatkan aturan iuran masuk bagi wisatawan yang masuk ke kas desa. Dengan demikian, desa adat memiliki penerimaan yang lebih besar dari sebelumnya.

Kedua, dana pengembangan budaya yang dipungut dari wisatawan ke Bali selama ini kita perlu pertanyakan belum pernah dinikmati oleh pendukung budaya Bali. Warga sekitar kawasan wisata juga perlu  diberdayakan tanpa mengurangi penerimaan untuk daerah dan negara.

Hanya, semua model penerimaan ini juga wajib berbasiskan digital. Jika tidak, kita yakin kebocoran pungutan akan tetap berlangsung.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *