Oleh Mohammad Ali, S.E.
Problematika jual beli jabatan di negeri ini tidak pernah sepi. Kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan Kementerian Agama beberapa waktu lalu menjadi salah satu contoh wajah buruk birokrasi Indonesia. Tentu, ini bukan sekadar menempati posisi jabatan tertentu, tetapi juga masalah etika dan moral kepada bangsa. Jabatan itu sejatinya untuk melayani bukan menguasai.
Mirisnya, jual beli jabatan dianggap sebagai tradisi lama. Ini terbukti dari kasus jual beli jabatan sudah masif dan sistematis. Fenomena ini sangat menyedihkan, karena sukses tidaknya sebuah birokrasi negara, tercermin dari mental dan moral dari abdi negara itu sendiri. Ketika pejabat publik menganggap jabatan sebagai pengabdian, ini akan membawa birokrasi yang baik dan bersih dari korupsi.
Sebaliknya, ketika jabatan diartikan sebagai mata pencaharian, maka ini akan merusak tatanan moral dan reformasi birokrasi yang sudah lama dibangun. Jual beli jabatan tidak hanya terjadi di Kementerian Agama yang baru ini terjadi. Data sebelumnya menunjukkan ada beberapa kepala daerah yang juga tersangkut kasus jual beli jabatan. Salah satunya Bupati Klaten, Sri Hartani, dengan kasus jual beli jabatan kepala SMP, SMA, mutasi serta promosi PNS di Setda hingga Kepala Dinas dengan nilai suap Rp 12,887 miliar dan divonis 11 tahun penjara.
Taufiqurahman, Bupati Nganjuk dengan kasus jual beli jabatan posisi kepala SD, SMP, dan SMA dengan nilai suap Rp 298 juta dan divonis 7 tahun penjara. Sunjaya Purwadisastra, Bupati Cirebon, dengan kasus jual beli jabatan lurah, camat, dan kepala dinas dengan nilai suap Rp 100 juta untuk kepala dinas dan puluhan juta untuk lurah, ditetapkan tersangka oleh komisi pemberantasan korupsi pada 25 Oktober 2018.
Nyono Suharli Wihandoko, Bupati Jombang, dengan kasus jual beli jabatan Kepala Dinas Kesehatan dengan nilai suap Rp 275 juta dan vonis 3,5 tahun penjara. Ini sangat memilukan dan jauh dari nilai demokrasi. Kalau sistem birokrasi ini tidak diperbaiki, maka ini akan sulit untuk memperbaiki masa depan negara yang seharusnya melayani masyarakat.
Ini hanya sebagian kasus yang terekspos di media. Ada banyak kasus korupsi jual beli jabatan yang sedang ditelisik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dilansir oleh CNN Indonesia 27-03-2019, diketahui bahwa Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Sofian Effendi, mengatakan ada 13 kementerian dan lembaga yang sedang dalam pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tren kasus jual beli jabatan diprediksikan akan terus naik. Hal ini disebabkan oleh belum adanya sanksi berat bagi pelaku dan UU pidana saat ini yang masih masuk angin. Sungguh menyedihkan, perbaikan sistem birokrasi yang tidak diikuti moral dan sanksi, akan terus menambah rentetan kasus jual beli jabatan.
Ada banyak upaya untuk mencegah dan menghindari terjadinya kasus jual beli jabatan. Pertama, keterbukaan informasi baik itu terkait perekrutan, keuangan dan lainnya, serta adanya transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat. Ini merupakan syarat mutlak dari reformasi birokrasi. Kedua, adanya digitalisasi sistem di mana semua layanan berbasis digital, misalnya e-data, e-service, e-budgeting. Upaya ini dapat menutup celah terhadap terjadinya kasus korupsi jual beli jabatan.
Minimnya anggaran bukan penghalang dalam penerapan digitalisasi sistem. Salah satu daerah yang patut dicontoh adalah Kabupaten Bojonegoro yang menerapkan sistem digital. Digitalisasi sistem seperti e-government sukses diimplementasikan. Digitalisasi sistem di Bojonegoro tersebut berhasil meskipun anggaran daerahnya jauh lebih kecil dibandingkan DKI Jakarta. Dikutip dari Kompas 30-08-2017 Kabupaten Bojonegoro kini menjadi satu di antara tiga daerah penelitian Perkumpulan Prakarsa yang memiliki proses paling lengkap dalam penerapan e-government.
Ketiga, adanya tindakan tegas bagi pejabat publik, apabila melakukan kecurangan dan penyalahgunaan jabatan. Tidak hanya hukuman disiplin namun juga pemecatan. Uapaya ini akan memberikan efek jera kepada para abdi negara. Pejabat publik sejatinya memberikan contoh dalam melayani masyarakat, karena mereka digaji dengan uang rakyat. Mereka juga tetap menjaga norma dan nilai dalam berbangsa dan bernegara.
Disparitas tuntutan dan hukuman bagi koruptor memang masih menjadi persoalan di negeri ini. Bagaimana tidak, operasi tangkap tangan sudah kerap kali terjadi dan menghiasi layar kaca pemberitaan tanah air. Aktor atau pelakunya pun selalu berasal dari pejabat dan pegawai di lingkungan pemerintah baik pusat maupun daerah. Ini tentu sangat mengkhawatirkan.
Idealnya, operasi tangkap tangan membuat koruptor jera, karena di samping ada sanksi hukuman, juga ada sanksi sosial dari masyarakat. Kasus seperti ini perlu adanya reformasi hokum. Vonis hukuman koruptor tidak boleh lebih ringan dari hukuman yang diterima pencuri sandal jepit, pencuri kakao, dan kasus-kasus kecil dari rakyat kecil yang viral pada waktu-waktu yang silam.
Penulis, mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta