Korupsi dan pungli masih menjadi tugas berat pemerintah untuk memberantasnya. Ada banyak langkah dan cara yang sudah dilakukan. Mulai dari penyetoran daftar kekayaan, hingga gerakan pemerintah bersih (clean goverment) dibudayakan.
Namun, kasus korupsi, pungli, suap, gratifikasi, bahkan transaksi jabatan masih saja menjerat para penguasa dan penegak hukum. Bahkan, mutasi kini menjadi salah satu sumber pendapatan untuk memgembalikan biaya politik. Bahkan, komisi dalam berbagai proyek juga ditengarai masih menjadi lahan empuk untuk mendapatkan uang.
Maraknya kasus korupsi dan terus berulangnya pejabat tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan bahwa rakyat juga gagal mencermati kualitas calon pemimpinnya saat pemilihan. Rakyat selaku pemilih sering tersander janji-janji politik pragmatis dari para calon. Perilaku buruk pemilih dengan mengedepankan transaksi juga patut dicatat sebagai celah lahirnya pemimpin korup dan rakus. Untuk itu, filter terpilihnya pemimpin yang berkualitas hendaknya lahir dari rakyat, bukan semata–mata menyalahkan pejabat yang korup.
Jika merujuk deretan bupati, gubenur, bahkan pejabat negara yang terjerat korupsi, semestinya kita segera menyadari bahwa pejabat publik yang kita pilih dengan anggaran negara yang banyak tak menjamin kita akan mendapatkan pemimpin jujur. Kuatnya kepentingan personal dalam mengelola kekuasaan membuat para penguasa menjadi culas. Ia selalu mencari celah untuk bermain.
Yang tertangkap melakukan korupsi dan menerima gratifikasi, mungkin saja baru sebagian kecil dari praktik korupsi yang terjadi di lingkungan birokrasi dan pemerintahan. Untuk itu, negeri ini harus tegas kepada pejabat korup. Jangan hanya dipenjara, bila perlu hukuman sosial harus diterapkan. Jika di luar negeri pejabat korupsi dibunuh, maka setidaknya di negeri ini pejabat korup harus dimiskinkan dan dikenai hukuman sosial.
Sebagian besar perilaku korup juga dikondisikan oleh adanya ruang bermain oleh para koruptor. Fasilitas mewah dan layanan khusus di sejumlah lembaga pemasyarakatan terhadap koruptor juga sering kita dengar. Ini membuktikan, bahwa koruptor setelah dipenjara pun masih bisa hidup nikmat.
Hal inilah yang juga patut dievaluasi. Artinya, kecenderungan pejabat publik berani melakukan tindakan korupsi karena mereka mungkin meyakini dengan uang yang dimilikinya, koruptor bisa hidup nyaman di semua ruang termasuk di penjara. Untuk itulah, mentalitas penegak hukum harus juga dibenahi jika ingin negeri ini aman dan tegas dalam menekan perilaku korupsi. Kita jangan takut memecat pejabat korup termasuk memecat penegak hukum yang bermain-main dengan tugas dan kewenangannya.
Ke depan, sistem perekrutan pejabat publik termasuk pejabat birokrasi hendaknya dilakukan secara lebih profesional dan terukur. Lelang jabatan yang kini menjadi semacam proses internal, kemungkinan besar masih disusupi kepentingan–kepentingan pragmatis ekonomis penguasanya.
Jujur, saat ini kita masih sering mendengar untuk bisa masuk nominasi dan terpilih menjadi pejabat eselon dengan uang pelicin dan kedekatan dengan penguasa. Ini bahkan aromanya sangat kencang. Bahkan, sempat ada informasi oknum pejabat yang sudah bayar dan lolos pada pos jabatan tertentu namun gagal dilantik, gara-gara jabatan penguasanya keburu habis. Ironis memang. Ini membuktikan, profesionalisme murni mungkin sangat jarang kita temukan. Masalahnya, semua lini kini sudah masuk kepentingan politik yang bermuara pada kekuasaan.
Harapan kini tertuju kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan penegak hukum. Ketegasan dalam menindak pejabat korup harus menjadi semacam janji setia penegak hukum kepada negara. Akan sangat berisiko juga jika penegak hukum justru main mata dengan koruptor.
Untuk itulah, integritas penegak hukum dalam menekan perilaku korup hendaknya menjadi salah satu syarat utama. Jika penegak hukum tak memiliki integritas, sebagus apa pun aturan maka korupsi akan jalan terus. Banyaknya hakim yang terseret kasus korupsi dan gratifikasi dalam memutus perkara membuktikan ada yang perlu dibenahi secara serius dalam penegakan hukum.