Ilustrasi. (BP/istimewa)

Oleh GPB Suka Arjawa

Rekonsiliasi antara dua kelompok kekuatan politik Indonesia saat ini, sudah semestinya dilakukan. Bukan hanya rakyat menginginkan itu tetapi komponen yang ikut di dalam kompetisi juga demikian. Adanya pembauran dari dua kelompok dalam merayakan syukuran usai pemilu di Jawa Timur, mengindikasikan adanya keinginan untuk itu.

Dalam salah satu penafsiran, sikap dari Sandiaga Uno juga memperlihatkan adanya keinginan untuk mengurangi ketegangan tersebut. Maka sesungguhnya kondisi-kondisi ke arah itu sudah kelihatan. Sudah pasti juga beragam kelompok masyarakat menginginkan hal itu terjadi.

Fenomena politik Indonesia sekarang ini secara sederhana dapat dikatakan sebagai sebuah konflik, yang artinya adanya perbedaan antara kelompok nomor 02 dengan calon presiden nomor 01. Dari gelagat yang muncul di media, konflik tersebut jenisnya terbuka karena kedua belah pihak telah menyatakan berbagai pendapatnya yang sifatnya menyerang pihak lawan. Bahkan juga ada unsur-unsur cacian masuk ke dalam konflik tersebut.

Dari sisi teoretik, koflik terbuka seperti ini cukup berbahaya karena dapat menimbulkan beberapa akibat. Yang pertama adalah terpelihara dan berkembangnya eskalasi konflik. Wacana yang sudah dikeluarkan secara sosial akan mendapat respons dari lawan. Respons dalam sebuah wacana tidak cukup hanya satu kesempatan tetapi bisa berkali-kali, dengan tujuan bukan saja untuk penjelasan tetapi juga pengimbangan. Dalam wacana normal, respons untuk menjelaskan dan pengimbangan itu membutuhkan waktu cukup. Mungkin lima menit atau bahkan dua jam.

Jika kemudian respons itu untuk menanggapi wacana negatif yang apalagi sifatnya menyerang, maka bisa dibayangkan berapa waktu diperlukan untuk penjelasan dan pengimbangan itu. Dalam hal politik, wacana ini panjang karena dibungkus oleh instrumen media, entah media cetak, elektronik, dan apalagi media sosial.

Baca juga:  Muda dan Matang, Bukan Sekadar Pamer Kekuatan Politik

Pembungkusan ini mempunyai sifat yang mengendap dan dapat dibaca berkali-kali, berhari-hari dan oleh berbagai pihak. Sekali lagi, bisa dibayangkan bagaimana dampak wacana tersebut sekadar untuk mencapai pengimbangan. Apa yang terjadi di Indonesia sekarang, berada dalam kondisi seperti itu. Dan telah berlangsung sejak tahun 2014. Tahun 2019 ini hanya merupakan kelanjutan dari apa yang terjadi lima tahun yang lalu.

Bahaya yang kedua adalah bahwa konflik terbuka ini dapat tereskalasi menjadi kekerasan. Kejadian yang berupa kekerasan itu sesungguhnya adalah konflik terbuka tingkat lanjutan. Kekerasan berarti telah terjadinya benturan fisik antara dua pihak yang saling berlawanan. Kekerasan dapat terjadi karena kedua belah pihak sudah tidak mampu mengelola perbedaan pendapatnya dan ingin segera mengakhiri koflik secepatnya.

Memang kekerasan merupakan solusi. Tetapi batas antara rasional dan nonrasional itu kabur dan lebih mengedepankan emosi. Memandang kekerasan sebagai sebuah solusi jelas tidak mendapat rekomendasi dari siapa pun karena pasti merugikan. Perang, apa pun bentuknya entah perang antarnegara atau perang saudara, merupakan bentuk kekerasan yang paling besar (sekaligus yang paling konyol karena mendapat legitimasi negara atau kelompok). Tetapi kekerasan dapat dipakai sebagai sebuah peringatan bagi semua pihak: bahwa tidak boleh memelihara konflik itu berlama-lama.

Baca juga:  Hari Kasih Suara untuk “Bebotoh”

Dalam konteks kompetisi politik yang kini sedang terjadi di Indonesia saat ini, benih-benih kekerasan itu jauh sebelumnya telah kelihatan. Ini misalnya terjadi pada rally ganti versus pertahankan presiden 2019. Itu merupakan sentuhan dari kekerasan yang sudah terlihat di Indonesia. Perusakan dan bahkan mungkin pembakaran baliho dari kontestan yang bersaing juga memperlihatkan bagaimana kekerasan itu telah terjadi dalam waktu telah lewat. Ke depan, potensi-potensi dan gelagat kekerasan itu akan mungkin terjadi apabila tensi konflik saat ini tidak dapat diturunkan.

Bahaya yang ketiga adalah terekamnya konflik itu ke dalam ingatan generasi muda Indonesia. Konflik terbuka itu, baik yang bersikap wacana maupun yang berbetuk kekerasan akan secara mudah terekam dalam benak ingatan generasi muda, terutama generasi milenial. Pengendapan pengetahuan ini  mudah terjadi karena generasi milenial sekarang sangat dekat dengan media sosial.

Bagi generasi yang masih berusia belasan tahun, pengendapan itu dapat berupa pola pikir yang sedang aktif. Pada masa depan, apabila tidak mendapat pendidikan yang bagus, cara-cara konflik terbuka akan dipakai untuk menyelesaikan masalah, apalagi masalah yang berkaitan dengan politik. Kekerasan, dengan demikian, akan menjadi salah satu alternatif mereka.

Konflik yang terlihat dalam kondisi politik Indonesia sekarang cukup banyak mempunyai segmen, mulai dari konflik horizontal, vertikal sampai dengan konflik struktural. Perbedaan pendapat tentang hasil pemilu terjadi antara kelompok kandidat presiden yang dibeking oleh berbagai partai politik. Masing-masing kelompok itu mempunyai jumlah pengikut yang dari jumlah partainya terstruktur dalam jumlah yang lebih banyak dan lebih sedikit.

Baca juga:  Pemetaan Kepemilikan Tanah di Kota Budaya

Ini juga akan berpengaruh kepada segmen masyarakat pendukung, mulai dari yang nasionalis, agamis, netral dan seterusnya. Juga dari golongan masyarakat kaya, kurang mampu sampai yang miskin. Dari sisi kandidasi, perbedaan pendapat itu ada pada kandidat presiden dengan nomor urut 02 dan 01. Selanjutnya dari situ juga dapat dibaca konflik vertikal antara pendukung politisi dengan kandidat lawan yang diusung.

Namun, konflik bukan tidak dapat diselesaikan. Apabila dilihat dari segmen-segmen tersebut, secara sederhana dapat dikatakan sebagai perbedaan pendapat (konflik) yang sifatnya horizontal. Artinya, konflik itu sejajar, dari kelompok yang masing-masing berkompetisi dalam pemilihan presiden dan pemilu mendatang.

Salah satu cara untuk menekan, mencegah, dan menghilangkan konflik horizontal adalah dengan mempertemukan tokoh dari kelompok tersebut. Karena konflik ini horizontal, maka tidak akan memberikan kesan negatif bagi pihak mana pun jika bersedia untuk mengundang pihak kompetitor untuk bertemu. Tokoh mempunyai pengaruh kepada kelompok, dan masing-masing tokoh mempunyai posisi yang sama.

Jadi, jika ada yang menyebutkan pihak dari kelompok 02 dan 01 datang dan bertemu, segeralah datang. Dengan demikian, konflik akan dapat ditekan secara perlahan-lahan dan memberikan kesejukan kepada masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *