duktang
Petugas dari Satpol PP dan Dinas Kependudukan melakukan operasi kependudukan di wilayah Gilimanuk. (BP/olo)

Oleh Nyoman Dhamantara

Dengan konsensus kebinekaan, hakikat dan makna pembangunan budaya sesungguhnya merupakan upaya membangun peradaban manusia dengan mendistribusikan keadilan secara utuh kepada subjek dan sekaligus terhadap aktivitas kebudayaannya. Masalah mendasar di Bali yang dirasakan masih mengganggu rasa keadilan dan belum mendapatkan jalan keluar sampai saat ini adalah masalah ledakan penduduk, khususnya yang terkait dengan pertumbuhan penduduk urban atau pendatang.

Dari hari ke hari isu pendatang ini semakin beragam dan perlu solusi. Para tokoh di Bali pun mengimbau masyarakat untuk tidak menjual lahan, guna mengantisipasi maraknya alih fungsi lahan yang dikuasai oleh para pendatang, termasuk pendatang dari mancanegara (masyarakat global). Jadi pendatang yang dihadapi tidak sekadar pendatang domestik, tetapi kenyataannya lebih dari itu, rakyat Bali harus disiapkan berkompetisi di pasar global.

Jika upaya itu gagal maka bukan mustahil semua gerakan pelestarian seperti halnya Nangun Sat Kerthi Loka Bali dengan semangat pelestarian budayanya akan menjadi mubazir atau sia-sia. Karena proses peminggiran terhadap pelaku atau subjek budaya membuat keberadaan budaya d imasa depan, pelan tapi pasti akan punah ditelan zaman.

Kepunahannya akan diawali dengan keringnya budaya itu sendiri. Di mana tradisi berlangsung tanpa makna. Dapat dipastikan pada saat itu budaya akan menjadi retorika yang hanya berfungsi sebagai labeling pencitraan pariwisata semata.

Seperti halnya masa depan desa adat dengan setra (kuburan) sebagai perekatnya akan sirna sejalan dengan dukungan pemimpin Bali terhadap simplifikasi ritual ngaben melalui krematorium. Hilangnya fungsi setra akan melumpuhkan peran desa adat sebagai garda depan penyangga keseimbangan alam Bali dengan Tri Hita Karana-nya, di samping akan mempercepat tenggelamnya semangat gotong royong (mabraya).

Baca juga:  Mengawali Pemulihan Industri Pariwisata

Pengaruh globalisasi membuat Bali semakin dilematis dalam menghadapi problema urban. Di satu sisi harus memelihara pertumbuhan ekonomi dengan ambisi menjaga kelestarian budaya. Tetapi di sisi lain setiap peningkatan ratio pertumbuhan ekonomi, justru menambah kencangnya lonjakan marginalisasi ataupun peminggiran terhadap penduduk lokal, dan di saat yang bersamaan percepatan laju pertumbuhan urban pun tidak dapat dihindari. Lemahnya daya tahan penduduk lokal membuat kurang relevannya penanganan peminggiran yang meminta rakyat untuk tidak menyukseskan program Keluarga Berencana (KB) dengan menambah angka kelahiran dari 2 anak menjadi 4 anak.

Postur penduduk Bali seharusnya meskipun kecil secara kuantitatif tetapi harus kuat ukuran kualitatifnya. Jangan besar tetapi loyo. Dan yang perlu diketahui, risiko sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, lonjakan penduduk urban jangan pernah dipertandingkan atau diperbandingkan dengan angka kelahiran penduduk lokal. Karena arus urbanisasi dilatarbelakangi oleh adanya peluang hidup yang lebih menjanjikan dibandingkan tempat urban itu berasal.

Sementara meningkatnya biaya hidup membuat angka kelahiran penduduk semakin dikendalikan oleh kesadaran masyarakat yang ingin mencapai kualitas hidup yang lebih terencana. Sehingga menjadi lucu bila ada program menambah angka kelahiran penduduk lokal dengan maksud menandingi lonjakan populasi penduduk pendatang, namun di lain pihak dengan sadar setiap tahun dalam jumlah yang lebih besar dari angka kelahiran itu sendiri, penduduk lokal harus terpinggirkan atau tersisih secara ekonomi, bahkan ada yang sampai diekspor ke luar Bali.

Suasana peminggiran yang mengganggu rasa keadilan itu membuat mayarakat khususnya yang ada di perkotaan mudah untuk terjangkit rasa frustrasi. Hal itu diakibatkan oleh adanya suasana yang memaksa mereka untuk menerima dengan pasrah keterpinggirannya. Di dalam tekanan seperti itu, dikhawatirkan masyarakat akan mudah digiring dan diprovokasi dengan bisikan, bahwa ini semua kesalahan pendatang atau pendatang itu merupakan biang keladi dari kemiskinan.

Baca juga:  Pertegas Kedudukan Ekonomi Rakyat

Bisa jadi bisikan seperti itu akan efektif digunakan sebagai pembenaran dan sekaligus kambing hitam atas gagalnya pembangunan menghadirkan keadilan ekonomi. Apalagi terus mengajak masyarakat bersembunyi di balik politik yang cenderung eksklusif dengan memainkan isu etnonasionalisme yang berbau SARA.

Padahal sesungguhnya persoalan ini sangat sederhana, karena dengan mudah kita tahu, agar rakyat tidak terpinggirkan secara ekomomi, maka mereka harus dapat memenangkan persaingan ekonomi. Dan itu hanya akan berhasil bilamana para pemimpin mampu meningkatkan daya saing ekonomi rakyat.

Kunci suksesnya pembangunan terkait dengan urban adalah mengupayakan pembangunan dengan membangun daya saing rakyat (SDM) melalui pengelolaan urban atau urban managment yang inklusif. Dan tentunya inklusivitas yang dimaksud, hukumnya wajib untuk sejalan dan tidak bertentangan dengan adat, tradisi dan budaya Bali.

Pemahaman ini perlu diingatkan, khususnya kepada mereka yang punya keinginan berlebihan, agar tidak bermimpi menjadikan Bali daerah wisata syariah. Seperti orang bijak mengatakan, Ngono ya ngono tapi ojo ngono.

Pengelolaan urban yang inklusif itu merupakan upaya menghindari urban agar tidak menjadi beban atau liabiliti, dengan kebijakan yang mampu untuk menempatkan urban sebagai aset di dalam struktur ekonomi yang berkeadilan. Semua itu hanya berhasil bila ada keinginan yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan pemimpin Bali di dalam memberikan keberpihakan untuk membangun daya saing dari lokal konten yang ada, baik itu penduduk lokal, produksi lokal ataupun kearifan lokal, dengan politik keberpihakan yang tepat guna, tepat waktu dan tepat sasaran.

Baca juga:  Dipetakan, Duktang di Wilayah Denpasar

Seperti halnya mempersiapkan daya saing SDM dengan menginisiasi kebijakan pendidikan yang terjangkau oleh rakyat dan berdaya saing tinggi. Ataupun kebijakan yang mengandung keberpihakan terkait dengan upaya rakyat memenuhi kebutuhan ekonominya meraih likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas.

Jadi sesungguhnya bila pemerintah bersama pemimpin di Bali mampu untuk melakukan pengelolaan urban dengan baik, maka penduduk pendatang idealnya menjadi ‘’stimulus’’ di dalam sistem perekonomian Bali. Akan sangat berbahaya mengatasi kemiskinan dengan menggunakan pola instan. Pola di mana mengatasinya dengan cara memindahkan mereka yang jatuh miskin ke luar Bali.

Maka dari itu, kesungguhan pemimpin di Bali untuk melakukan pengelolaan urban yang efektif, harus dibuktikan dengan keberanian mereka menghentikan program transmigrasi dan menggantinya dengan program keberpihakan dalam rangka pemberdayaan produktivitas rakyat. Singkat kata untuk pengaturan dan pengelolaan urban yang berkeadilan dibutuhkan koridor, dengan sisi pembatas di mana negara menghargai dan menghormati hak ekonomi setiap warga negara, termasuk kepada warga pendatang.

Namun pembatas yang lain harus juga memastikan bahwa pembangunan yang dihadirkan oleh negara itu adalah pembangunan yang dapat menumbuhkembangkan kesadaran rakyat untuk menghargai, menghormati, serta memiliki kepedulian untuk memaknai pembangunan budaya di Bali. Tidak seperti kondisi saat ini, di mana akan sulit membangun kesadaran para urban, ketika pemimpin di Bali sebagai teladan banyak yang tidak menyadari bahwa pembangunan justru telah menginspirasi mereka untuk mengeksploitasi alam dan mereduksi, bahkan dapat memusnahkan sumber daya budaya yang menghidupi mereka selama ini.

Penulis, anggota DPR-RI Fraksi PDI Perjuangan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *