Kalau menyebutkan bahwa masih banyak orang miskin di Bali, sebagian besar orang tak percaya. Sebab, di benak mereka Bali itu subur, pariwisata maju, hotel mewah ”bertaburan” di mana-mana. Demikian pula mall ada di mana-mana.
Begitu pun art shop ”menghiasi” hampir sepanjang jalan dan berbagai usaha lainnya. Dengan banyaknya usaha tersebut, praktis peluang usaha banyak dan peluang kerja juga banyak. Itulah gambaran sederhana mereka. Intinya orang Bali itu kaya atau setidaknya bukan merupakan KK miskin.
Namun kenyataannya tidak demikian adanya. Data pusat statistik menyebutkan jumlah orang miskin di Bali pada Maret 2018 mencapai 171 ribu orang. Itu adalah sebuah gambaran yang cukup mencengangkan di tengah ”serbuan” dolar ke pulau ini. Lalu mengapa orang Bali masih banyak yang miskin? Adakah ini kesalahan konsep dalam pembangunan, sehingga peran orang Bali sangat sedikit untuk berkiprah pada sektor yang dibangga-banggakan, yakni pariwisata?
Pertanyaan itu sering muncul. Bahkan sudah banyak dibahas dalam berbagai seminar bahwa orang Bali kini telah kalah bersaing, baik di sektor formal maupun informal. Ini merupakan fakta yang semestinya menjadi perhatian semua pihak. Sebab, kalau tidak dapat ditanggulangi maka Bali takan lagi Bali. Sebab pengungsung budaya Bali sudah sebagian besar ‘’lari’’ karena tak mampu bersaing di tanah kelahirannya. Demikian pula tanah Bali makin banyak beralih fungsi dan beralih kepemilikan. Sehingga budaya Bali makin tercerabut dari gumi Bali.
Seperti diberitakan Bali Post sebelumnya, walupun angka kelahiran di Bali sangat rendah, tetapi pertumbuhan penduduknya jauh di atas rata-rata nasional. Bahkan, Badung yang merupakan pusat pariwisata Bali mengalami pertumbuhan 4,6 persen, tiga kali lipat dibandingkan pertumbuhan nasional. Demikian pula Denpasar mengalami pertumbuhan 4 persen. Sungguh luar biasa peningkatannya.
Peningkatan yang luar biasa ini semestinya jangan dianggap enteng, apalagi dipandang sebelah mata. Sebab, akan banyak dampat ikutan yang akan terjadi bila hal tersebut dibiarkan atau tidak dikendalikan. Seperti masalah lalu lintas. Kemacetan yang saat ini sudah parah akan makin parah. Kalau selama ini terjadi di beberapa titik, ke depan atau tak lebih dari lima tahun lagi kemacetan di Denpasar dan Badung akan terjadi diseluruh ruas jalan. Selain lalu lintas, alih fungsi lahan dan alih kepemilikan juga akan menjadi ancaman yang sangat besar.
Saat ini saja alih fungsi lahan dan kepemilikan sangat besar. Selain mengancam penyediaan pangan, alih fungsi lahan dan kepemilikan juga akan mengancam budaya Bali yang berbasis pertanian. Selain kedua hal tersebut, kerawanan dalam Kamtibmas juga terancam. Sebab, kepadatan penduduk akan menimbulkan kekumuhan. Kekumuhan identik juga dengan ”sarang” untuk persembunyian pelaku maksiat.
Kondisi inilah yang sekarang dihadapi Bali. Serbuan para migran ini perlu dicarikan jalan keluarnya. Pertama, meratakan pembangunan di seluruh Bali. Sebab, Bali bukan hanya Badung dan Denpasar. Daerah Karangasem, Bangli, Tabanan dan Buleleng juga bagian dari Bali yang berhak ikut menikmati kemajuan Bali.
Kedua, tugas para pejabat dari Gubernur sampai kepala desa untuk mengendalikan pendatang. Mengendalikan bukan berarti membatasi, tetapi memberlakukan aturan-aturan kependukan secara lebih ketat lagi.
Ketiga, menyadarkan para pendatang bahwa kewajiban mereka adalah ikut menjaga Bali, baik menyangkut keamanan maupun budaya Bali. Sebab, kemajuan Bali yang dinikmati mereka saat ini,tidak lepas dari faktor keamanan dan terjaganya budaya Bali secara baik.
Sangat diperlukan khususnya bagi Pendatang yag ingin datang kepulau Bali agar benar benar ikut berperan dalam: Kebersihan dan yang paling utama adalah dalam hal Keamanan lingkungan bali.
terutama pada tempat tempat yang rawan tindakan kriminal seperti tempat hiburan,tempat belanja, Pantai. supaya kontribusi untuk Bali dimana tempat untuk mencari Nafkah demi keluarga.