MANGUPURA, BALIPOST.com – Selama kurun setahun ini, banyak objek wisata baru yang bermunculan. Salah satunya Taman Beji Paluh yang terletak di Desa Penarungan.
Objek wisata yang mendapat renovasi Pemerintah Kabupaten Badung itu menjadi salah satu daya tarik wisata di Bali, khususnya Badung. Taman Beji Paluh memang ada sejak dahulu kala.
Banyak masyarakat yang ingin melakukan pembersihan secara spiritual dengan cara melukat di Pura Taman Beji tersebut. Tak hanya itu, panglukatan pnacoran solas di kawasan Banjar Dauh Peken, Desa Penarungan, Kecamatan Mengwi, Badung ini menyajikan keindahan alam lengkap dengan atraksi wisata Tubbing. “Berdasarkan cerita yang saya tahu konon air yang mengucur di Taman Beji Paluh adalah sungai yang mengaliri Tukad Yeh Penet dan Bebengan,” ujar Kepala Dusun Dauh Peken, I Gede Made Artanegara, Senin (13/5).
Menurutnya, proyek dengan nama Penataan Taman Beji dan Jalan Tracking Desa Wisata Penarungan tersebut digelontor Rp 14.870.064.000. “Itu untuk memberikan kesempatan dan kemudahan pada masyarakat yang lebih luas untuk melakukan penglukatan,” terangnya.
Adapun Pancoran Lima terdiri dari Pancoran Brahma, Wisnu, Siwa, Rudra dan Sambu. Sedangkan Pancoran Solas di antaranya terdiri dari Toya Ning, Tirta Gangga, Toya Panglukatan, Toya Pembersihan, Toya Pamrastita, Toya Pangleburan, Toya Pangening-ening, Toya Panyejer, Toya Sudamala, dan Toya Pangentas.
Mengenai pengelolaan, destinasi yang juga menawarkan jogging track serta river tubing tersebut, di bawah Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Penarungan. “Pengelolanya Pokdarwis berdasar SK Perbekel,” tegasnya.
Cerita yang beredar di masyarakat, berawal dari subak Desa Kapal memerlukan aliran air untuk mengairi persawahan warga. Masyarakat pun mencoba mengarahkan aliran mata air dari Desa Penarungan ini ke Desa Kapal.
Dimulai dari Banjar Abing yang saat ini dikenal sebagai Banjar Dauh Peken. Upaya masyarakat tidak membuahkan hasil, bahkan berkali-kali urugan tanah tersebut jebol.
Caranya, dibuatkan urugan sebagai pembatas untuk mengarahkan aliran air. Konon akibat hal tersebut, ada salah satu anggota masyarakat secara tidak sengaja berikhtiar.
Ia memohon kepada penguasa alam. Barang siapa yang datang paling akhir, akan dipakai pakelem atau tumbal agar usaha yang dilakukan berhasil.
Ternyata hal itu benar-benar terjadi. Suatu ketika, ada seseorang yang datang paling akhir.
Ia adalah seorang Pangliman yang bertugas mengatur air. Tiba-tiba ia jatuh dan meninggal saat berjalan di pinggir urukan sungai.
Sejak itu, akhirnya urugan yang dibuat tidak pernah lagi mengalami masalah hingga saat ini. Bekas jebolan urugan sungai tersebut membuat tanah tidak rata atau disebut dengan istilah ‘mapaluh-paluh’ hingga kemudian bekas tempat tersebut dikenal sebagai Taman Beji Paluh hingga kini.
Secara niskala, kata Artanegara, kucuran mata air di Taman Beji Paluh sejak lama dipercaya memiliki khasiat. Khususnya, menyembuhkan berbagai penyakit nonmedis.
Misalnya, penyakit mata dan kulit. Awalnya, kucuran mata air di Taman Beji Paluh ada lima. Itu sebabnya disebut Pancoran Lima.
“Penduduk lokal biasanya menggunakan untuk panglukatan atau pembersihan diri dari segala unsur dasamala. Khususnya untuk kesehatan, kucuran air di Pura Taman Beji Paluh dipercaya secara turun-temurun berkhasiat untuk memberikan kesembuhan penyakit mata dan kulit,” jelasnya. (Parwata/balipost)