Oleh Dr. I Njoman Suwidjana, M.A., M.H.
Wacana Gerakan Ekonomi Hindu yang diluncurkan oleh Parisadha Hindu Dharma Pusat baru-baru ini menyentak konsentrasi saya dan mengundang berbagai pertanyaan di antaranya apakah orang Hindu Indonesia kini mulai berpikir sektarian, mengangkat wacana ekonomi identitas bercorak agama dan masuk ke dalam ruang eksklusivitas sempit dan dengan demikian mengerdilkan universalitas nilai-nilai Hindu itu sendiri? Ataukah Hindu kini sudah terseret arus radikalisme sempit?
Saya menyadari bagaimana Hindu di dunia, termasuk di Bali, kini berada dalam kepungan dari berbagai penjuru. Keterbukaan nilai-nilai Hindu yang mudah menerima nilai-nilai lain dan menganggap semua ajaran adalah baik, justru terancam disingkirkan oleh sikap pragmatis itu sendiri.
Selain dari proporsinya yang turun, hal ini juga terlihat dari sudut perekonomian, bagaimana orang-orang Hindu di Bali tersisih dari sentra dan dinamisme perekonomian Bali, kalah dalam persaingan usaha, dan praktis tersingkir dari kepemilikan aset yang bernilai ekonomi tinggi. Ke dalam, tradisi ritual yang elaborate dan menuntut banyak biaya dan waktu, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang dibangun di atas pandangan miopik telah menjadi beban berat bagi kehidupan umat Hindu Bali. Beban yang kerap memaksa umat untuk menjual warisan mereka untuk memenuhinya.
Sementara pendatang berduyun-duyun migrasi ke Bali, orang-orang Bali justru transmigrasi ke luar Bali untuk alasan yang sama yaitu ekonomi, sebuah ironi yang terbuka. Dengan perkembangan seperti ini, wajar bila umat Hindu yang tersadarkan mulai mewacanakan gerakan yang memunculkan agama sebagai identitasnya. Apa pun pemicunya harus diakui bahwa gagasan di atas telah membangunkan umat dari keterlelapan, terlena oleh derasnya pujian dan sanjungan yang mematikan.
Merenung lebih jauh dan menelisik sloka-sloka Bhagavad Gita serta memanggil kembali teori-teori ekonomi modern yang kini digunakan oleh banyak negara dalam mengkonstruksi dan mengelola sistem perekonomian mereka, saya temukan bahwa dalam hal tertentu terdapat keselarasan antara keduanya, makna sloka Veda dan teori modern, memberi kesan seolah teori-teori tersebut digali dari sloka-sloka Veda. Perbedaan ditemukan pada landas bangunnya.
Teori ekonomi modern dibangun di atas konsep “keserakahan” yang berorientasikan pada keuntungan di dalam suasana pasar bebas yang penuh persaingan. Persaingan melahirkan sebuah sistem perekonomian yang keras dan berutal, yang dalam operasinya harus dikawal dengan aturan-aturan untuk melindungi masyarakat dari kebrutalannya.
Perekonomian yang dibangun di atas prinsip greed hanya concern pada pertumbuhan. Distribusi mengikuti melalui partisipasi masing-masing. Keserakahan dalam kebebasan mendorong inovasi.
Inovasi mengundang investasi dan membuka lapangan pekerjaan, membuat kehidupan menjadi lebih baik. Inovasi dan investasi membuat harta kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang, dan lapangan kerja yang diciptakan menguntungkan banyak orang. Inilah yang John Rawls, filsuf ekonomi liberal yang tersohor itu, sebut ekonomi kapitalis liberal. Sistem perekonomian liberal mewajarkan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang sepanjang konsentrasi tersebut juga mengangkat kesejahteraan orang-orang di sekitarnya. Investasi menciptakan lapangan pekerjaan dan mengundang investasi pendukung, dampak getok tular.
Sistem perekonomian Hindu dibangun di atas landasan dharma. Dimaknai sebagai “tidak menyakiti ataupun membunuh” dharma sebagai landas bangun suatu perekonomian akan melahirkan sebuah sistem perekonomian yang dijiwai oleh nilai moral dan etika/kemanusiaan yang tinggi tidak akan membutuhkan banyak aturan untuk mengendalikan persaingan ataupun eksploitasi konsumen karena etika itu sendiri yang akan mengambil alih fungsi kontrol.
Dengan falsafah induk Panca Shrada dan falsafah-falsafah turunannya, dharma sebagai landasan perekonomian akan membentuk sebuah perekonomian yang gentle luwes dan penuh motivasi kebaikan yang muncul dari dalam. Dharma dibangun atas falsafah-falsafah yang sarat etika dan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan (susila) di antaranya falsafah Ongkara yaitu keyakinan akan adanya hanya satu Tuhan Yang Mahaesa, yang menjadi penyebab dari segala sebab, pencipta, pemelihara dan pemralina, yang dapat disapa dalam berbagai nama dan disembah dalam berbagai wujud; falsafah tentang kehadiran Tuhan di dalam diri semua makhluk (atman) dan melihat diri di dalam diri makhluk lain (Tat Twam Asi); falsafah tentang perbedaan yang sejatinya tidak berbeda, ke-satu-an dalam perbedaan (rwa bhineda); falsafah tentang kejujuran absolut atas manyatu dan sucinya manah, ucap, dan laku (Tri Kaya Parisuda); falsafah Catur Guru yang menjunjung tinggi asas kepatutan dalam beretika, dan falsafah keseimbangan hidup, sekala niskala, dalam hubungan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam (Panca Yadnya); dan falsafah kepemimpinan Hasta Brata yang membimbing manusia Hindu menjadi pemimpin yang bijak; dan falsafah Karma Phala yang membimbing manusia Hindu untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab, prinsip yang menanam menuai, sebagai wujud keadilan tertinggi dalam Hindu; dan masih banyak lagi. Semua ini akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas mulia.
Dengan kualitas sumber daya manusia seperti di atas, tak pelak akan menghasilkan sistem perekonomian yang lembut dan luwes, penuh etika dan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan, dan jauh dari keberingasan dan kebrutalan sistem kapitalis liberal. Sebuah sistem perekonomian yang beroperasi dengan penuh tenggang rasa, mengambil hanya secukupnya, dan tidak menyakiti. Mengelola sumber daya dengan kesadaran seperti di atas tidak membutuhkan banyak aturan untuk menghindari persaingan dan melindungi konsumen karena perangkat kontrol ada di dalam diri masing-masing.
Prominen di antara ajaran Hindu yang memiliki relevansi langsung terhadap perekonomian modern adalah salah satunya, konsep Catur Varna, konsep yang membagi manusia atas dasar kemampuan terbaik (guna) dan profesi yang dipilihnya (karma) atas dasar kesamaan kesempatan. Konsep ini membuka peluang yang seluas-luasnya bagi setiap insan untuk memilih profesi/peran dan fungsi di masyarakat sesuai dengan bakat yang dimiliki. Dalam sistem perekonomian modern, konsep ini dikenal dengan istilah Division of Labor, yaitu suatu sistem yang mengusung spesialisasi untuk sebuah produksi yang maksimal melalui alokasi sumber daya yang tepat guna, konsep Optimal Allocation of Resources.
Keselarasannya konsep ini dengan Catur Varna mengindikasikan bahwa gerakan ekonomi Hindu sejatinya bukanlah gerakan sektarian melainkan gerakan yang dibangun di atas nilai-nilai kemanusiaan dan etika yang tinggi. Bedanya hanya pada pijakan yaitu “keserakahan” untuk teori perekonomian modern dan dharma bagi perekonomian Hindu/dharma.
Memang sudah saatnya sloka-sloka Veda yang selama ini kita maknai hanya sebagai bimbingan dalam membangun sikap hidup untuk dilihat sebagai rujukan dalam membangun landasan konsep ekonomi sebagai alternatif pemikiran ekonomi. Sudah saatnya pula kita membuka-buka kembali kitab suci kita dan bersama-sama menggali sisi ekonomi dari sloka-sloka tersebut untuk dituangkan ke dalam kerangka pikir konstruksi ekonomi dharma yang dapat dijadikan acuan di kemudian hari dalam menyusun struktur sebuah perekonomian.
Penulis, Ketua Bidang Perekonomian Paiketan Krama Bali