Ilustrasi. (BP/istimewa)

Dalam agama Hindu dan di Bali belum dikenal istilah perjanjian perkawinan sebelum kedua pasangan menikah. Hal inilah yang memperlemah posisi kaum wanita Bali yang selalu menjadi korban akibat keretakan rumah tangga. Seolah-olah mereka tak memiliki hak atas kekayaan bersama.

Kondisi ini didukung juga oleh budaya patrilinial yang memberi kedudukan laki-laki yang utama. Makanya, ada kesan krama Bali (baca: Hindu) tak lengkap rasanya jika tak memiliki anak laki-laki sebagai pewaris. Pewaris ini harus diartikan hak dan kewajiban atau sanan atau tetegenan. Nyaris kaum wanita Bali bisa dikatakan sebagai kelompok yang menerima saja. Diceraikan juga ya, dikembalikan ke rumah asalnya tak masalah.

Apalagi krama Bali sampai saat ini sangat kuat kekerabatannya. Apa pun perlakuan suami terhadap anak perempuannya siap ditanggung keluarga asal. ‘’Jangankan manusia utuh, berupa mayat pun akan kami terima’’. Demikian semangat krama Bali belapati dengan keluarganya.

Baca juga:  Mengembalikan Pariwisata Budaya

Terlepas dari itu, seharusnya mereka juga memiliki hak atas hak guna kaya selama menikah. Namum, hal ini juga jarang disentuh krama Bali lantaran tak mau ruwet berhubungan dengan aspek hukum.

Kini, muncul  putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU/XII/2015 berdampak besar terhadap perkembangan hukum di Indonesia, terutama terkait dengan hukum perkawinan dan kepemilikan hak kebendaan di Indonesia. Putusan ini tak hanya mengatur kawin campur WNI dan WNA juga soal harta kekayaan setelah pernikahan.

Ini kabar baik bagi kaum wanita Bali jika perusahaan suaminya pailit, bahwa aset milik istri tak boleh ditarik oleh negara. Namun, semua ini harus dituangkan dalam perjanjian perkawinan. Sedangkan secara nasional hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan).

Baca juga:  Hilangnya Hak Siswa Cerdas

Khusus terkait perjanjian perkawinan, diatur bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan ini dikenal sebagai pre-nuptial agreement atau pre-marital agreement (dikenal singkat sebagai pre-nupt).

Masalah akan timbul lagi, sepanjang perjanjian perkawinan tersebut tidak dicatatkan atau didaftarkan, maka perjanjian perkawinan tersebut tidak dianggap sah. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah perjanjian perkawinan tersebut sudah dicatatkan?

Sepanjang belum dicatatkan di notaris atau di Pengadilan Negeri tempat pasangan suami-istri tersebut berdomisili, selamanya tak bernilai apa-apa bagi kaum wanita Bali. Apalagi wanita Bali dikenal polos-polos, jarang menuntut hak guna kaya atau warisan.

Nah, pemerintah akhirnya memberikan solusi. Khusus terkait pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan di Catatan Sipil, telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Departemen Dalam Negeri nomor 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017 yang ditujukan kepada semua kepala dinas kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) kabupaten/kota di seluruh Indonesia, yang mengatur bahwa dukcapil sebagai instansi pelaksana atau unit pelaksana teknis (UPT).

Baca juga:  Mendesain Metode Pembelajaran yang Berpihak pada Anak 

Berdasarkan hal ini akan dibuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan, sedangkan atas akta perkawinan yang diterbitkan oleh negara lain namun perjanjian perkawinannya dibuat di Indonesia, pelaporannya dibuat dalam bentuk surat keterangan. Hal ini berlaku bukan saja pada pembuatan perjanjian perkawinan, namun juga atas perubahan dan pencabutan perjanjian perkawinan secara umum. Kaum wanita Bali bisa memanfaatkan kebijakan ini untuk menjamin masa depan keluarga.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *