Oleh Ni Putu Widyati Listyari
Pesatnya pariwisata telah mampu membawa Bali pada capaian yang cukup mengesankan pada tingkat nasional. Tingkat pengangguran Bali berdasarkan data BPS tercatat sebagai yang terendah, dengan capaian sebesar 1,19% pada Februari 2019. Demikian halnya dengan tingkat kemiskinan Bali hanya kalah rendah dengan tingkat kemiskinan di DKI Jakarta dengan tingkat kemiskinan 3,91% (September 2018).
Pertumbuhan ekonomi Bali juga berada di atas pertumbuhan nasional sebesar 6,35% (yoy) pada tahun 2018, besaran angka ini lebih tinggi dari nasional yang tumbuh sebesar 5,17% (yoy). Namun sayang, capaian tersebut menyisakan masalah ketimpangan antarwilayah, termasuk ketimpangan pembangunan manusia.
Pembangunan manusia didefinisikan sebagai proses perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging people choice). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living). Umur panjang diwakili oleh Umur Harapan Hidup saat lahir (UHH), pengetahuan diukur melalui indikator Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah (HLS).
Sementara standar hidup yang layak digambarkan oleh pengeluaran per kapita disesuaikan, yang ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli (purchasing power parity).
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali baru-baru ini merilis angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang mencatatkan IPM Bali pada tahun 2018 sebesar 74,77. Capaian ini tergolong tinggi (berada di rentang 70-80), bahkan pada tingkat nasional berada pada peringkat kelima. Namun, lebih jauh melihat capaian IPM antarkabupaten di Bali terlihat timpang. IPM dua kabupaten yakni Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, tergolong sangat tinggi dengan indeks di atas 80, sementara dua kabupaten yakni Kabupaten Bangli dan Karangasem masih terkategori sedang (di bawah 70).
Peran sentral wilayah Badung dan Denpasar tidak hanya menjadi pusat ekonomi, namun juga sebagai pusat pemerintahan dan pusat fasilitas layanan lebih tinggi. Dengan kondisi ini, gravitasi kedua wilayah ini sangat tinggi tidak hanya menarik penduduk Bali bahkan hingga luar Bali. Sebagai pusat ekonomi, misalnya, dua wilayah ini menarik bagi pencari kerja yang umumnya dengan latar belakang pendidikan yang memadai.
Dari sisi pembangunan kesehatan, yang pada IPM diwakili oleh usia harapan hidup (UHH). Pada tahun 2018, UHH Bali tercatat 71,68 tahun. UHH menggambarkan perkiraan umur maksimum yang bisa dicapai bayi yang baru lahir untuk hidup. Dengan demikian, bayi yang lahir pada tahun 2018 diperkirakan akan mampu bertahan hidup sekitar 71 tahun. Usia harapan hidup di kabupaten/kota di Bali berkisar di atas 70 tahun. UHH tertinggi tercatat pada umur 74,71 untuk Kabupaten Badung. Untuk indikator usia harapan hidup, kondisi antarwilayah masih bisa dikatakan relatif berimbang.
Ketimpangan pembangunan mulai terlihat jika melihat lebih jauh ke dalam indikator pengetahuan (knowledge) yang diwakili Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Harapan Lama Sekolah (HLS). Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dihitung dari rata-rata lamanya (tahun) penduduk usia 25 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Harapan Lama Sekolah (HLS) didefinisikan sebagai lamanya (tahun) sekolah formal yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu pada masa mendatang.
Pada tahun 2018, Harapan Lama Sekolah di Bali tercatat telah mencapai 13,23 tahun yang berarti bahwa anak-anak usia 7 tahun memiliki peluang untuk menamatkan pendidikan mereka hingga lulus D-1 atau universitas tingkat dua. HLS per kabupaten berada pada rentang 12 hingga 14 tahun. Hal ini sangat timpang jika dibandingkan dengan capaian RLS.
RLS Provinsi Bali pada tahun 2018 tercatat 8,65 tahun, atau secara rata-rata penduduk Bali yang berusia 25 tahun ke atas hampir menuntaskan jenjang pendidikan SMP. Di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, rata-rata penduduknya telah menuntaskan jenjang pendidikan minimal 9 tahun.
RLS Kabupaten Badung tercatat 10,06 tahun, sementara RLS Kota Denpasar tercatat 11,16 tahun. RLS terendah tercatat di Kabupaten Karangasem yaitu 5,97 tahun dengan kata lain penduduk usia 25 tahun ke atas di Kabupaten Karangasem belum menuntaskan pendidikan Sekolah Dasar (SD).
Dimensi terakhir yang mewakili kualitas hidup manusia adalah standar hidup layak yang direpresentasikan oleh pengeluaran per kapita (harga konstan 2012). Pada tahun 2018, rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat Bali pada tahun 2018 tercatat Rp 13,89 juta per tahun.
Pengeluaran per kapita tertinggi tercatat untuk penduduk di Kota Denpasar yang hampir mencapai Rp 20 juta per tahun, dua kali lipat jika dibandingkan pendapatan per kapita penduduk Karangasem. Pengeluaran per kapita penduduk Karangasem tercatat sebagai yang terendah dengan pengeluaran rata-rata sekitar Rp 10 juta per kapita per tahun.
Gambaran ini setidaknya dapat menjelaskan bahwa ketimpangan yang terjadi tidak lepas dari dominasi Kota Denpasar dan Badung yang mengambil peran sentral baik sebagai fungsi pemerintahan, ekonomi, dan pendidikan. Ketimpangan pada sisi ekonomi dan pendidikan mestinya tidak terjadi jika saja penduduk dengan kualifikasi pendidikan lebih tinggi tidak harus ke Kota Denpasar dan Badung baik untuk memperoleh pendidikan maupun pekerjaan.
Namun pada kenyataannya, dua wilayah ini cukup kuat menyedot potensi-potensi sumber daya manusia intelektual dari wilayah sekitarnya, sehingga di tempat yang ditinggalkan hanya tersisa sumber daya manusia dengan kualifikasi pendidikan rendah.
Kondisi ini sesungguhnya sudah lama disadari. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyeimbangkan pembangunan antara wilayah, salah satunya dengan membuat pusat-pusat pertumbuhan baru. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan baru ini dipercaya akan bisa diwujudkan dengan konsep one island management.
Menurut Wakil Gubernur Bali (Bisnis.com, 2018), dengan konsep ini diharapkan dapat membentuk suatu cluster yang nantinya menjadi pusat-pusat pertumbuhan di setiap kabupaten dengan keunggulan yang ada di masing-masing wilayah. Namun, dengan melihat ketimpangan indeks pembangunan manusia saat ini, hendaknya pembentukan pusat-pusat ekonomi juga mempertimbangkan penciptaan lapangan kerja bagi kaum intelektual (knowledge based industry).
Dengan menyebarkan pusat-pusat pertumbuhan baru yang berbasis ilmu pengetahuan seperti universitas, pusat penelitian, pengembangan IT dan sejenisnya, pada satu sisi akan menahan arus migrasi intelektual ke luar wilayah dan pada sisi lain berpeluang mendatangkan tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan tinggi.
Hal ini juga akan mempercepat proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah-wilayah tersebut. Dengan demikian, pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru tidak hanya mengurangi ketimpangan ekonomi, namun juga akan mampu menyeimbangkan pembangunan manusia di Bali.
Penulis, Seksi Statistik Sosial
Badan Pusat Statistik Kota Denpasar