Oleh Ni Komang Hevi Prima Dewi
“Sesuai aplikasi ya, pak?”, pertanyaan tersebut mungkin sudah tidak asing lagi di telinga para pengguna aplikasi ojek online atau lebih dikenal dengan sebutan “ojol”. Pertanyaan itu kerap dilontarkan oleh pengemudi ketika masyarakat menggunakan layanan pemesanan makanan dalam aplikasi tersebut.
Ketergantungan masyarakat terhadap layanan kemudahan yang ditawarkan ojol, khususnya untuk memesan makanan merupakan salah satu bukti bahwa era revolusi industri 4.0 membawa pengaruh di Indonesia. Era revolusi industri 4.0 telah mengubah tatanan dunia bisnis dan pola konsumsi masyarakat yang berbasis pada teknologi digital. Ada fakta yang menarik dalam pola konsumsi makanan penduduk Bali saat ini.
Teknologi digital telah mendorong penduduk untuk mengkonsumsi makanan jadi yang terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan jadi mengalami peningkatan setiap tahun. Jika pada tahun 2007 konsumsi makanan jadi sebesar 20,10 persen, pada tahun 2017 telah melonjak menjadi 39,10 persen dari seluruh pengeluaran makanan penduduk Bali, (BPS, 2017)
Selain itu, konsumsi rumah tangga mampu menyumbang hampir separuh dalam PDRB Bali menurut pengeluarannya yaitu sebesar 48,15 persen. Dengan peranan yang besar tersebut tidak mengherankan jika konsumsi rumah tangga telah menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang tinggi setiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2018 secara year on year (dibandingkan tahun sebelumnya) konsumsi rumah tangga tumbuh 6,26 persen.
Konsumsi makanan akan terus meningkat, hal ini karena makanan merupakan kebutuhan dasar manusia dan jumlah penduduk yang bertambah setiap tahun. Revolusi industri 4.0 memungkinkan variasinya dan cara memperoleh makanan akan mengalami perubahan mengikuti selera dan perkembangan zaman.
Kepraktisan dan kemudahan layanan antar melalui ojol saat ini telah mendorong penduduk Indonesia untuk membeli makanan jadi. Pelaku usaha baru yang juga kebanyakan berasal dari generasi milenial tahu betul bagaimana cara memanjakan generasi zaman now dengan berbagai kemudahan dan penawaran harga yang lebih murah.
Menurut data dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI), bisnis kuliner tahun ini pun melonjak tajam hingga 9,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Salah satu pemicunya adalah jasa pengantaran online yang semakin berkembang.
Demikian juga gaya hidup leisure ekonomi telah mendorong sebagian besar masyarakat di Bali untuk mengkonsumsi makanan dan minuman jadi di luar rumah sambil menikmati kebersamaan, hiburan, dan pengalaman. Harus diakui, bahwa fenomena tersebut lebih banyak terjadi di perkotaan, karena daya beli penduduk kota lebih tinggi daripada perdesaan.
Selain itu, kelengkapan fasilitas dan teknologi informasi yang ada di perkotaan juga lebih maju. Hal ini tercermin dari proporsi pengeluaran untuk makanan jadi penduduk kota sebesar 42,98 persen, sedangkan untuk penduduk desa sebesar 29,27 persen dari seluruh pengeluaran makanan.
Transformasi ekonomi digital memberi kesempatan yang sama bagi semua orang untuk berpartisipasi secara ekonomi. Bahkan dalam perubahan pola konsumsi masyarakat saat ini. Resolusi hidup sehat yang menggema dalam beberapa waktu terakhir tidak akan mengurangi pangsa pasar dalam bisnis makanan jadi.
Justru hal tersebut merupakan peluang untuk menyediakan makanan sehat. Bahkan minuman sehat untuk detoks pun sekarang sudah mulai banyak dipasarkan dalam kemasan yang lebih kekinian dan variatif.
Demikian juga dengan katering yang melayani pemesanan makanan diet mingguan dengan spesifikasi sesuai kesehatan atau program diet pelanggannya. Seolah tidak mau ketinggalan, makanan tradisional Bali pun, seperti rujak, tipat, martabak, dan jajanan pasar tidak mau kalah dalam dunia persilatan jualan daring.
Bagi ibu rumah tangga muda atau milenial yang tidak memiliki passion memasak, kegiatan memasak telah menyita waktu produktifnya. Waktu untuk memasak lebih suka diisi dengan kegiatan sesuai passion untuk aktualisasi diri, seperti membaca, menulis, fotografi, desain, hingga berjualan secara daring.
Dengan memanfaatkan teknologi digital, semua hobi tersebut kini bisa menghasilkan uang. Bahkan banyak keluarga milenial yang bersedia membayar lebih mahal untuk mengkonsumsi makanan jadi dengan cita rasa rumahan.
Bagaimanapun aktivitas memasak tidak hanya proses mengolah makanan saja, namun ada proses belanja, menyiapkan bahan, mengolah, hingga membersihkan peralatan dan tempat memasak. Apalagi saat ini semakin sulit untuk mendapatkan asisten rumah tangga yang bisa membantu membereskan dan membersihkan rumah.
Bukan saja upah asisten rumah tangga yang semakin tinggi, namun ketersediaannya pun semakin sulit didapat. Dengan tingkat ekonomi penduduk Indonesia yang semakin meningkat, permintaan akan asisten rumah tangga juga semakin tinggi. Sedangkan penawarannya semakin terbatas. Saat ini perempuan berpendidikan rendah sekali pun lebih suka bekerja di sektor perdagangan, akomodasi dan penyediaan makan minum dibanding menjadi asisten rumah tangga.
Pertumbuhan ekonomi sektor perdagangan, akomodasi dan penyediaan makan minum yang tinggi mengakibatkan kebutuhan tenaga kerja di kedua lapangan usaha tersebut juga semakin meningkat. Ini dibuktikan oleh sektor perdagangan sebagai penyerap tenaga kerja tertinggi kedua setelah sektor pertanian.
Di sisi lain, tidak sedikit milenial yang menjadikan aktivitas memasak sebagai passion yang bisa mendatangkan pendapatan dan keuntungan. Simbiosis antar masyarakat inilah yang menghadirkan peluang bisnis makanan jadi dengan cita rasa rumahan yang sehat. Terlebih di era digital seperti sekarang, membuka bisnis makanan tidak harus menyediakan dapur dan restoran yang full service.
Teknologi digital telah mendorong UMKM untuk memasarkan produknya tanpa harus menyewa tempat maupun membayar pelayan. Kondisi demikian mengakibatkan banyak biaya produksi yang bisa dipangkas sehingga memungkinkan untuk menjual produk dengan harga bersaing.
Dengan perubahan pola konsumsi tersebut, apakah generasi milenial merupakan generasi yang malas memasak? Bisa jadi benar, karena harus diakui bahwa generasi ini lebih suka menggunakan waktu produktifnya untuk menekuni hobi dan passion-nya. Sedangkan kegiatan yang bisa didelegasikan akan dialihkan ke pihak lain dengan cara membayar barang ataupun jasa.
Demikian juga, apakah rumah tangga sekarang tidak lagi membutuhkan dapur? Tentu saja tidak. Bisa jadi ukurannya menjadi lebih minimalis. Bahkan di era teknologi informasi yang semakin luas ini, dapur bisa menjadi tempat untuk bereksperimen dan menggali ide dalam menghias rumah kemudian memamerkannya di media sosial.
Aktivitas ini pun bisa mendatangkan penghasilan jika berhasil menggandeng sponsor atau pemilik produk untuk mempromosikan produknya. Dalam istilah kerennya disebut endorse. Perubahan pola konsumsi di era industri 4.0 ini telah menciptakan berbagai peluang bisnis yang menghasilkan keuntungan bagi siapapun yang mau menangkapnya.
Penulis, Statistisi di BPS Provinsi Bali