TABANAN, BALIPOST.com – Subak Abian Pangkung Sakti 1 di Desa Angkah, Selemadeg Barat adalah salah satu subak yang masih berkosentrasi dengan pengembangan kakao. Karenanya subak ini dipilih pemerintah pusat melalui Dinas Perkebunan Provinsi Bali untuk dibentuk Regu Pengendali OPT (RPO).
Regu dibentuk pada April 2017 ini mulai menerapkan budidaya kakao dengan teknik sebagian besar organik. Setelah pembentukan RPO , dari segi kualitas kebun dan kesehatan pohon semakin baik.
Ketua RPO Subak Abian Pangkung Sakti 1, Nyoman Agus Adnyana Astawa, Senin (20/5) mengatakan subaknya dipilih untuk dibentuk RPO oleh pusat karena turunnya produktivitas panen kakao akibat seragan hama atau OPT (organisme penggangu tanaman). “Selain itu karena subak kami juga masih konsen dengan penanaman kakao,” ujarnya.
Sebelum dibentuk RPO, menurut Astawa, petani di subak Abian Pangkung Sakti 1 masih menerapkan sistem kombinasi dalam perawatan kebun kakao, yaitu menggunakan teknik organik dan juga kimia. Semenjak dibentuk RPO, pihaknya kemudian dilatih dan dibina untuk melakukan perawatan kebun dengan menggunakan sistem organik. “Jadi porsi organik lebih besar. Dengan catatan jika terjadi serangan OPT secara eksplosif, penggunaan kimia bisa diterapkan,” ujarnya.
Namun selama beralih dari teknik kombinasi ke teknik organik, diakui Astawa tidak ada serangan OPT yang ganas maupun eksplosif . Menurutnya petani tidak usah takut dalam melakukan perawatan kebun yang mengarah organik.
Sebab, jika tahu tekniknya, tidak akan terjadi serangan yang ganas dan luas. “Kalau biasa memakai kimia kemudian mengurangi atau menerapkan organik, maka OPT akan ganas dan meledak serangannya. Tetapi ternyata jika tahu sifat OPT dan teknik pengendaliannya, hal itu tidak terjadi,” jelasnya.
Meski sudah meningkat kualitasnya dari segi kebun dan kesehatan pohon, diakui Astawa pihaknya belum bisa melakukan peningkatan produksi secara signfikan. Hal ini dikarenakan masih sedikit petani coklat di subaknya maupun subak di sekitar mau menerapkan peremajaan atau rehabilitasi pohon.
Dari luas Subak Pangkung Sakti 1 yang mencapai 60 hektar, luasan yang sudah diremajakan baru 10 hektar. Masih sedikitnya pohon kakao yang diremajakan, kata Astawa, karena mindset petani masih melihat hasil yang kontinyu dengan mempertahankan pohon tua. “Jika diremajakan dan direhabilitasi maka menunggu waktu 2-3 tahun barulah pohon kakao menghasilkan. Ini yang petani belum siap,” ujar Astawa.
Menurut Astawa biasanya petani yang mau merehabilitasi kebun kakaonya adalah petani yang sudah membaik dari segi ekonomi. Sehingga mereka masih memiliki pendapatan meski pohon kakaonya belum menghasilkan .
Astawa sendiri telah meremajakan kebun kakaonya seluas 1,8 hektar. Dan mulai berbuah saat usia pohon dua tahun. Menurutnya keuntungan dari meremajakan pohon kakao adalah pohon dipastikan kesehatannya dan lebih mudah melakukan perawatan.
Pohon yang masih muda pun akan menghasilkan buah lebih banyak dan lebih berkualitas. “Pohon kakao saat ini di subak Pangkung Sakti 1 rata-rata usianya 30 tahun. Satu hektar menghasilkan 3 ton biji kakao. Produksi ini bisa terus menurun karena seiring dengan usia, pohon akan semakin banyak membawa penyakit dan ketinggian pohon membuat susah untuk dirawat,” jelas Astawa.
Sementara untuk pohon yang diremajakan, dalam waktu tiga tahun setidaknya bisa menghasilkan satu ton biji kakao per hektar dan akan terus meningkat, bisa mencapai lima ton per hektar. Di sisi lain pohon yang masih muda lebih bebas dari penyakit dan gampang untuk dirawat.
Untuk harga, satu kilogram kakao saat ini mencapai Rp 30 ribu untuk kualitas asalan. Jika fermentasi mencapai Rp 40.000 hingga Rp 50.000.
Dengan harga ini dan ketersediaan kakao yang panen sepanjang tahun, menurut Astawa, kakao adalah komoditi perkebunan yang paling menguntungkan. “Asal budidayanya baik dan musim mendukung dalam hal ini tidak hujan terus menerus, nilai jual nya sangat baik dan menguntungkan,” ujar Astawa. (Wira Sanjiwani/balipost)