Ilustrasi Pemilu. (BP/dokumen)

Pemilihan umum selalu meninggalkan berbagai permasalahan. Apalagi pada pemilu serentak 2019, 17 April lalu. Khusus di Bali yang dikenal warganya bersikap polos dan nerima, sedikit melontarkan protes. Di masyarakat Bali dulu berkembang pameo pemilu hanya memikirkan kedudukan bagi oknum tertentu, toh hidup mereka tetap seperti sekarang.

Kini, pendapat tersebut sudah digeser. Kita harus menentukan nasib sendiri lewat pilihan sendiri. Buktinya, angka partisipasi pemilih di Bali melebihi angka 80 persen.

Nilai manfaat pemilu serentak memang banyak, namun eksesnya juga banyak. Nah, ini kesempatan emas bagi mahasiswa di Bali untuk meneliti kelemahan dan keunggulan pemilu serentak.

Penelitian pemilu serentak ini bisa dilakukan dari sudut ekonomis mulai dari manajemen keuangan, data dan perputaran uang. Dari segi politik soal konflik dan benturan hukum serta gugatan hasil. Dari segi teknologi juga bisa dikaji karena pemilih pemilu sudah familiar dengan TI.

Baca juga:  Kampung Mandiri di Desa Bongkasa Pertiwi

Penelitian itu bisa melihat, pertama, sejauh mana pemilu berjalan secara demokratis. Kedua, sejauh mana keberpihakan media massa elektronik dalam pemilu. Sebab, faktanya banyak pimpinan parpol yang memiliki media elektronik. Padahal sesuai aturan, media massa tak boleh berpihak dan menyiarkan secara seimbang ke semua parpol dan capres.

Juga perlu diteliti masalah usia minimal memiliki hak pilih. Sesuai ketentuan aturan berlaku saat pencoblosan, sementara yang belum berusia 17 tahun tak masuk DPT yang dilakukan jauh-jauh sebelumnya. Termasuk apakah pemilu serentak ini efektif atau tidak, perlu dipertahankan atau diganti saja.

Baca juga:  Menjadikan UMKM Poros Ekonomi

Komisi Pemilihan Umum RI (KPU-RI) telah melakukan evaluasi sementara dari jalannya proses pemungutan suara pemilu serentak 2019. Hasilnya, masih ditemukan sejumlah kendala yang dihadapi meski secara umum bisa dibilang berjalan baik.

Misalnya, 249 Tempat Pemungutan Suara (TPS) belum bisa melakukan penghitungan suara. Angka tersebut hanya 0,28 persen dari total 810.193 TPS. Bahkan sejumlah daerah ditunda penghitungan karena berbagai masalah. Sebagian besar (kendalanya) didominasi ada keterlambatan logistik. Kedua, ada karena bencana alam misalnya banjir di Jambi.

Sementara TPS yang menemui kendala dalam penghitungan suara mayoritas terjadi di wilayah yang sulit dijangkau. Seperti di Kabupaten Intan Jaya, Papua (228 TPS), Kabupaten Yahukimo, Papua (155 TPS) hingga Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

Baca juga:  Selama Akhir Pekan, Protes Kebijakan Ketat Nol-Covid Makin Menyebar

Selain adanya kendala bencana alam, pemilu kali ini juga turut diwarnai sejumlah kabar duka. Salah satunya ada petugas penyelenggara pemilu yang harus meregang nyawa akibat menjalankan tugas. Namun secara umum, kita patut memberi apresiasi tinggi terhadap masyarakat yang telah menggunakan hak pilihnya.

Begitu pula terhadap seluruh peserta pemilu baik itu pileg maupun pilpres dan aparat keamanan yang telah menjaga jalannya pemilu. Hingga kini, penyelenggara pemilu memegang teguh prinsip bekerja dengan terbuka, transparan, berintegritas, profesional dan menjaga independensi. Jika ada yang protes, lakukan lewat jalur hukum bukan dengan jalan people power.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *