DENPASAR, BALIPOST.com – Berdasarkan pengalaman sebelumnya, kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) lantaran pemerintah tidak konsekuen melaksanakan Permendikbud tentang PPDB. Salah satunya dengan membuka lagi pendaftaran gelombang kedua.
Sekolah negeri akhirnya menerima siswa melebihi daya tampung, sedangkan sekolah swasta mesti gigit jari karena kehilangan siswa. Oleh karena itu, komitmen pemerintah sangat dinanti agar pelaksanaan PPDB dapat berjalan dengan baik dan tak lagi menimbulkan keributan di masyarakat.
“Memang setiap tahun hampir krodit, yang paling krodit adalah di Kota Denpasar karena ada banyak sekolah swasta. Pada prinsipnya, konsekuen untuk melaksanakan sesuai dengan Permendikbud. Saya kira akan berjalan lancar,” ujar Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Denpasar, Nyoman Subrata dalam rapat pembahasan PPDB SMA/SMK yang digelar Dinas Pendidikan Provinsi Bali, Kamis (23/5).
Dengan demikian, lanjut Subrata, SMA/SMK negeri akan menerima siswa sesuai dengan daya tampungnya. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang terpaksa menerima lebih dari batas karena ada desakan dari legislatif. Padahal legislatif, khususnya DPRD Bali sempat menegaskan tidak ada pendaftaran gelombang kedua ataupun ketiga dan seterusnya.
“Tapi dalam pelaksanaannya, di pertengahan jalan ada keluar Pergub ya…akhirnya hancur-hancuran kembali. Semoga untuk sekarang ini tidak terjadi seperti itu lagi,” jelasnya.
Subrata tak sepakat bila masyarakat disebut lebih memilih sekolah negeri ketimbang swasta lantaran masalah kualitas. Menurutnya, hal itu lebih disebabkan oleh biaya.
Sekolah swasta tentu harus memungut dari siswa untuk gaji guru. Sedangkan di sekolah negeri semuanya gratis karena gaji guru dibayar oleh pemerintah. “Pikirkan juga sekolah swasta karena yang masuk di sekolah swasta ini adalah putra-putri kita, bukan anak-anak asing atau anak-anak ‘samar’. Sekarang negeri dan swasta dari segi kualitas sudah sama,” jelasnya.
Asisten Ombudsman RI Perwakilan Bali, Ni Nyoman Sri Widhiyanti mengatakan, pos PPDB memang harus berjalan secara konsisten. Jika nantinya ada calon peserta didik yang tidak tertampung di sekolah negeri, harus ada analisa terkait daya tampung dan jumlah sekolah.
Termasuk pemetaan terkait sekolah swasta mana yang memang daya tampungnya masih kurang. Ataupun sekolah negeri yang kekurangan siswa. “Itulah yang didistribusikan, sehingga tidak terjadi karena keinginan orangtua di sekolah A ya dipaksakan harus semua ke sekolah A. Tapi memang diharapkan distribusi itu kepada sekolah-sekolah yang lebih dekat,” ujarnya.
Menurut Widhiyanti, keluhan yang paling banyak masuk ke Ombudsman sebetulnya menyangkut jalur prestasi. Mengingat sebelumnya, ada ketidakjelasan mengenai pembobotan dan penilaian.
Sebab ada sekolah yang memakai sistem tes, ada pula yang memakai sertifikat. Namun kini akan diantisipasi dengan legalisir sertifikat dari penyelenggara dan yang mengirim.
Seandainya ada indikasi bodong, maka mereka yang akan mempertanggungjawabkan. Kemudian keluhan soal jalur PKB (Pesta Kesenian Bali, red), karena sebelumnya tidak ada dalam pos PPDB.
Diwawancara terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bali, Ketut Ngurah Boy Jayawibawa mengatakan, pihaknya kini sudah menyiapkan skema pembiayaan untuk sekolah swasta. Dengan harapan, antara sekolah negeri dan swasta menjadi sama atau tidak ada biaya lagi. “Selama ini kan hanya negeri yang mendapat BOS Daerah dari APBD, sekarang swasta juga. Total dengan biaya siswa miskin sekitar Rp 22 miliar kita anggarkan mulai 2019 ini di APBD Perubahan,” ujarnya. (Rindra Devita/balipost)