Umat Hindu sedang melaksanakan ritual Tumpek Landep. (BP/wan)

Oleh I Ketut Suda

Umat Hindu, khususnya di Bali memiliki sejumlah hari suci keagamaan, di antaranya hari raya Galungan, Kuningan, Nyepi, Purnama, Tilem, dan Tumpek yang jatuhnya setiap Sanicara Kliwon. Berdasarkan perhitungan pawukon, perayaan hari suci Tumpek datangnya setiap 35 hari (satu bulan) sekali menurut perhitungan kalender Bali.

Ada hal menarik yang perlu dicermati oleh umat dalam peringatan hari suci Tumpek, khususnya Tumpek Landep, sehingga tidak terjadi pemahaman yang keliru atas peringatan hari suci tersebut. Hari raya Tumpek Landep diperingati setiap Saniscara Kliwon Wuku Landep yang jatuhnya setiap enam bulan (210 hari) sekali. Pada peringatan hari suci ini umat Hindu melakukan persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Pasupati.

Secara fisik perayaan ini ditandai dengan kegiatan umat mengupacarai berbagai peralatan yang terbuat dari besi seperti, keris, tombak, senjata, perabotan rumah tangga yang terbuat dari besi, termasuk mobil, sepeda motor, komputer, dan lain-lain. Jika aktivitas ini tidak dimaknai secara benar, maka bisa jadi umat Hindu dianggap menyembah hal-hal yang bersifat materialis, yakni benda-benda buatan manusia. Terkait hal tersebut, perlu diberikan pemaknaan secara filosofis terhadap aktivitas yang dilakukan umat Hindu, khususnya dalam peringatan hari suci Tumpek Landep.

Baca juga:  Mempertajam Kecerdasan Pikiran

Secara harfiah kata landep sebenarnya mengandung arti lancip (tajam), sehingga perayaan hari suci Tumpek Landep secara filosofi dapat dimaknai sebagai tonggak penajaman citta, budhi, dan manah (pikiran), sehingga manusia mampu memecahkan berbagai persoalan hidup yang dihadapinya. Jadi, mengupacarai keris, tombak, senjata, dan peralatan rumah tangga, termasuk mobil, sepeda motor, dan lain-lain pada hari Tumpek Landep tidak dapat dimaknai sebagai aktivitas umat Hindu menyembah barang-barang material buatan manusia sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Akan tetapi, sebagai wujud rasa terima kasih umat Hindu ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) karena telah diberikan karunia berupa citta, budhi, dan manah, sehingga mampu menciptakan peralatan yang dapat memudahkan dirinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dengan mengacu pada pemaknaan tersebut, sesungguhnya umat Hindu dari sejak dulu telah meyakini bahwa citta, budhi, dan manah yang mereka miliki dapat diasah atau ditajamkan melalui proses pendidikan.

Baca juga:  Kedudukan Bahasa Bali di Antara Bahasa-bahasa Lainnya

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa betapa pentingnya pendidikan itu bagi upaya peningkatan kesejahteraan umat manusia yang perlu diapresiasi dan dihormati. Umat Hindu dalam konteks ini mengartikulasikannya dalam bentuk perayaan hari suci Tumpek Landep sebagai rasa sujud baktinya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah menganugerahkan akal budi kepada manusia itu sendiri.

Hal ini oleh umat Hindu diwujudkan dalam bentuk mengupacarai berbagai peralatan yang telah dihasilkan atas ketajaman pikiran manusia. Atau dengan bahasa filosofisnya bahwa umat Hindu melakukan upacara peringatan hari suci Tumpek Landep sebagai ungkapan rasa puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Pasupati.

Selain mengupacarai berbagai peralatan yang dapat memudahkan dirinya dalam mengatasi berbagai persoalan hidup, pada hari itu umat Hindu juga melakukan persembahan di pura, merajan, dan kayangan suci lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk memohon kesucian pikiran kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Ida Sang Hyang Wisesa dan memohon agar dianugerahi  budhi sattwam, sehingga dapat mengakibatkan kesempurnaan dan keselamatan alam semesta dengan segala isinya.

Baca juga:  Mengenang Joop Ave

Jadi, berangkat dari uraian di atas betapa sesungguhnya umat Hindu kaya dengan berbagai nilai kearifan tradisional, nilai kearifan lokal, dan nilai kearifan sosial yang secara filosofi mengandung makna yang sangat tinggi. Namun, dalam praktiknya nilai-nilai tersebut hanya dilaksanakan secara rutinitas tanpa upaya pemaknaan secara lebih mendalam, sebab sudah menjadi tradisi bagi umat Hindu, khususnya di Bali dalam memaknai tradisi yang diwariskan oleh para leluhurnya hanya didasarkan pada sikap mule keto (memang begitu).

Padahal, jika dicermati secara filosofis dan simbolis banyak makna yang dapat diungkap dari berbagai tradisi, local genius, dan kearifan sosial umat Hindu di Bali yang dapat memberikan nilai ajaran yang sangat tinggi, bagi umat Hindu itu sendiri.

Penulis adalah Guru Besar bidang Sosiologi Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas Hindu Indonesia.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *