Tradisi dan budaya melekat sangat kuat di kalangan manusia Bali. Beragam ritual juga menjadi bagian hidup yang menjadi roh budaya masyarakat Bali. Vibrasi dari ritual inilah yang diyakini oleh umat Hindu di Bali memberikan harmonisasi kehidupan.
Keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan kekerabatan sesama manusia, serta hubungan manusia dengan alamnya sering diterjemahkan atau diwujudkan dengan pendekatan ritual. Terkadang ketulusan dan keikhlasan dalam menjalankan prosesi ritual minim pemaknaan. Umat melakukan ritual ini selaras dengan tradisi berdasarkan perilaku atau budaya yang diwariskan leluhurnya.
Sebut saja dalam pemaknaan ritual Tumpek Landep. Tumpek Landep merupakan salah satu ritual bagi umat Hindu yang dikaitkan dengan odalan senjata. Ini persepsi umum. Namun, secara filosofi, perayaan Tumpek Landep bagi umat Hindu hendaknya dimaknai sebagai bentuk dan upaya untuk menjaga kesadaran dan ketajaman pikiran. Orang yang membidangi masalah keagamaan sering juga mengaitkan upacara ini sebagai bentuk kecerdasan mengelola kesadaran dan pengendalian diri.
Mencermati berbagai ulasan terkait dengan Tumpek Landep, umat Hindu di Bali meyakini bahwa pertemuan Saptawara dan Pañcawara menciptakan kesucian dan energi spiritual khusus. Terutama pertemuan akhir Saptawara dan Pañcawara memunculkan kekuatan spiritual sangat khusus yang membantu turunnya taksu. Inilah kepercayaan umat Hindu di Bali yang barangkali tidak dimiliki oleh umat Hindu lain di dunia.
Kekuatan taksu yang diturunkan pada hari Tumpek dapat membantu menumbuhkembangkan segala sifat mulia di dalam diri. Jika Tumpek Atag (disebut juga Tumpek Uduh, Tumpek Wariga, Tumpek Tetanduran, Tumpek Pengarah, Pengatag) merupakan hari suci untuk pelestarian lingkungan dalam kesadaran keagamaan, Tumpek Kandang merupakan hari suci untuk penghormatan pada binatang, Tumpek Krulut mampu menimbulkan rasa lulut (cinta kasih) yang lango (membahagiakan mendalam), maka Tumpek Landep dapat membantu memperoleh ketajaman serta kejernihan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan pikiran inilah yang senantiasa dicari oleh para Resi, Muni, Tapasvi melalui berbagai jenis pertapaan dan praktik spiritual lainnya. Sebab, tanpa kecerdasan pikiran segala keberhasilan spiritual tidak akan pernah dapat diraih.
Kata tumpek berarti turun. Berasal dari kata tampa, mendapat sisipan um, menjadi tumampa, kemudian menjadi tumampek dan akhirnya menjadi tumpek. Ia merupakan hari suci yang penuh kekuatan niskala dalam bentuk pasupati dan diperingati oleh umat Hindu untuk mengisi, memperkuat, dan mempertajam kekuatan pasupati pada keris, tombak, pedang dan benda-benda tajam lainnya yang disucikan, dan mempertajam kecerdasan spiritual. Pemahaman lain dari tumpek juga menunjukkan metu (bertemu) dan mpek (akhir) menunjukkan pertemuan antara akhir dari Pañcawara (yaitu Kliwon) dan akhir dari Saptawara (yaitu Saniscara).
Pada hari suci Tumpek Landep, orang-orang mengupacarai senjata pedang, keris, dan tombak yang disucikan (belakangan juga termasuk berbagai alat yang terbuat dari besi, bahkan motor dan mobil). Persembahan sederhana ditujukan kepada Sang Hyang Pasupati dilakukan dengan persembahan minyak wangi dan bunga serbaharum.
Dalam konteks kekinian, maka memakna Tumpek Landep tentu harus tetap bercermin pada ajaran sastra dan membangun kecerdasan diri. Mengasah ketajaman pikiran dalam konteks ini mesti diarahkan menjadikan diri lebih profesional, memiliki daya saing dan siap menghadapi tantangan.
Tumpek Landep hendaknya juga jangan berakhir pada ritual semata. Pemaknaan terhadap simbol-simbol ritual ini juga harus jelas. Sebagai generasi muda Bali (Hindu) maka pemahaman terhadap filsafat dan budaya merupakan hal wajib yang mesti kita kembangkan dalam diri. Jangan sampai kita meninggalkan kearifan lokal dan budaya karena tergerus mordernisasi.