Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) hanya dipahami dari sisi kepentingan calon siswa. Padahal PPDB memiliki aspek yang berkaitan erat dengan sistem pendidikan yang digerakkan oleh sekolah.
Penerimaan siswa baru berdasarkan zona, misalnya mengutamakan kepentingan masyarakat dalam kemudahan akses. Zonasi sama sekali memposisikan sekolah sebagai lembaga yang harus menerima siapapun calon siswanya asal dalam suatu zona.
Yang semakin diabaikan dalam PPDB adalah hak sekolah dalam menentukan “kualitas” calon siswa. Hal ini terjadi di semua lembaga sekolah negeri. Tidak ada lagi sekolah-sekolah dengan nilai-lebih (akademik dan nonakademik) yang ditawarkan dan masyarakat tidak memiliki pilihan, selain sekolah di zona tempat tinggalnya.
Sekolah adalah areal pembenihan atau pembibitan dalam suatu herbaium, yang menyediakan media tumbuh terbaik. Para guru sesungguhnya tidak hanya mengajar tetapi juga orang-orang yang punya andil dalam menentukan bibit siswa yang akan disemai. Nah peran inilah tak ada lagi di tangan para guru. Para ahli botani di herbarium kerja tekun untuk memilih aneka biji pohon, tunas-tunas semak, bunga anggrek hutan yang telah dibuahi serangga, yang disiapkan secara telaten untuk nantinya, pada musim yang paling baik disemai dengan penuh harapan di bedeng-bedeng.
Tidak semua biji, tunas, bunga-bunga lolos di tangan ahli botani karena disaring dengan sangat ketat untuk memperoleh kualitas unggul tumbuhan yang akan memberi berkah bagi alam dan kesejahteraan masyarakat. Hanya biji kualitas terbaik yang akan disemai dan keputusan ini mutlak pada ahli botani. Dengan cara yang amat ketat inilah sebuah herbarium menghasilkan aneka tanaman kualitas unggul, memberi buah, bunga, dan kayu bagi hidup.
Sekolah pun sedemikian, herbarium sosial, di mana pendidikan adalah penyediaan bedeng-bedeng penyemaian terbaik. Di sini siswa disemai dan para guru yang setia akan membantu siswa tumbuh unggul. Namun demikian, sekolah sebagai sebuah herbarium, sama sekali tidak memiliki lagi peranan dalam memilih “biji-biji”. Sistem PPDB memposisikan sekolah dan para guru harus menerima, apapun kualitas siswa. Dengan beranalogi kehidupan para ahli botani, para guru di sekolah tidak berperan dalam memilih calon siswa. Pada kondisi semacam ini, sekolah ada untuk semata-mata memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat.
Pada kondisi inilah proses belajar di ruang-ruang kelas atau ruang subsosial setingkat satuan pendidikan bergerak dalam irama yang monoton. Sistem belajar yang diputar oleh para guru merasa tidak perlu lagi berbuat lebih untuk mengubah kualitas rata-rata bibit siswa menjadi lebih baik atau terbaik secara massal.
Inilah awal mula stagnasi atau rutinitas pembelajaran. Guru hanya melihat siswa dalam kualitas tinggi sehingga tidak perlu lagi memberi perlakuan khusus yang melelahkan. Tentu sikap guru yang demikian tidak bisa disejajarkan dengan tahapan kerja ahli botani.
Seharusnya tugas guru mampu mengubah kualitas bibit yang biasa saja menjadi hebat atau unggul dalam penyemaian-penyemaian sekolah dan pada setiap pokok atau diri siswa yang biasa saja itulah keringat para guru bercucuran, menjadi pupuk motivasi dan penghargaan bagi setiap siswa, sehingga mereka mendapat pengalaman yang mengesankan dan bermakna.
Di luar sistem PPDB sekolah pemerintah yang mendominasi struktur sosial dewasa ini, memang masih ada sekolah-sekolah yang berbeda, dimana untuk memperoleh calon siswa para guru bekerja keras sebagaimana halnya seorang ahli botani yang dengan telaten dan tekun memilih bibit bagi penyemaiannya di herbarium yang sejuk. Sekolah-sekolah ini memang khusus, yang sebagian besar sekolah swasta dan sekolah negeri yang mengemban misi khusus.
Tulisan ini adalah renungan sebuah pengalaman ketika penulis terlibat dalam salah satu tahap PPDB di SMA Negeri Bali Mandara. Di sini setidaknya ada tiga tahap PPDB, yakni seleksi administrasi, kunjungan rumah, dan wawancara/FGD. Semua tahap tersebut pada hakikatnya pihak sekolah sedang memilih bibit-bibit yang tepat bagi bedeng-bedeng penyemaian.
Siswa yang lahir di keluarga miskin dan dengan sedikit prestasi serta dengan motivasi besar untuk berubah, mau meninggalkan kemiskinan, didapat melalui kunjungan rumah yang dilakukan langsung oleh guru dan pegawai serta kepala sekolah. Hal ini dilakukan agar objektif.
Dalam kunjungan inilah para guru dan pegawai SMAN Bali Mandara bertemu dengan kemiskinan yang membelit keluarga-keluarga. Data-data potret kemiskinan siswa direkam oleh guru dan pegawai, dijadikan pijakan mengambil keputusan untuk bisa mengikuti tahap selanjutnya, yakni wawancara dan FGD (diskusi kelompok).
Pada tahap wawancara dan FGD calon siswa yang lolos masuk asrama selama tiga hari dan menjadi waktu ketika sekolah ini melibatkan pihak luar untuk turut serta memilih calon siswa yang jumlahnya kurang dari setengah dari jumlah yang lolos tahap kunjungan rumah. Mereka yang terlibat dari berbagai kalangan, seperti dosen, wartawan, komite sekolah, universitas atau politeknik pemberi biasiswa, politisi, dan lain sebagainya.
Pada tahap wawancara, satu per satu calon menghadapi tim pewawancara dengan sejumlah pertanyaan dan di sinilah mereka mulai berbicara (dengan susah payah karena selama sembilan tahun sebelumnya mereka kehilangan kesempatan) tentang dirinya, dengan jujur dan berani, termasuk terhadap realitas keluarganya, seperti seorang anak tumbuh dengan kebencian terhadap ayah kandungnya karena menganiaya ibunya yang akhirnya meninggalkan dirinya, dan ia memilih menjadi anak angkat; tentang ibunya yang cacat tetap dan ayah dipenjara di LP Kerobokan, menjadikan dirinya merasa tidak boleh memiliki kerinduan sedikitpun terhadap sosok ayahnya. Dan masih banyak kejujuran dan keberanian lain yang terungkap dan larut dalam tetesan air mata.
Pada tahap FGD cerita personal tidak ada lagi. Di sini dengan sangat jelas tampak, siapa yang menjadi pemimpin kelompok yang sigap dan memiliki inisiatif. Demikianlah jalan panjang PPDB yang dilakukan dengan kesadaran sosial di atas ideologi pemerataan pendidikan dan pendidikan bagi kaum miskin namun dengan catatan tebal: pendidikan bagi kaum miskin pendidikan kualitas terbaik. Jadi, bukan semata-mata kemudahan akses dan pemerataan. Karena itu biaya yang disediakan bagi mereka sangat mahal.
PPDB ini adalah ikhtiar ideologis seorang ahli botani yang tekun bekerja di sebuah herbarium untuk satu tujuan: menemukan bibit “unggul” bagi bedeng-bedeng persemaian, tempat bertumbuh selama tiga tahun untuk dipanen bibit yang siap memasuki universitas dan kehidupan.
Penulis, dosen Universitas pendidikan Ganesha (Undiksha), Singaraja