Dunia pendidikan yang muaranya melahirkan manusia unggul dan berkualitas tak kunjung memiliki sistem baku dalam rekrutmen peserta didik. Perubahan nyaris terjadi sepanjang tahun. Dan setiap perubahan digulirkan dinamika dan problemnya nyaris sama. Siswa bingung, orangtua bingung, bahkan sekolah juga bingung.
Tak terkecuali Dinas Pendidikan selaku lembaga yang menentukan sistem rekrutmen juga bingung. Problem tahunan ini nyaris tak kunjung tertangani dengan baik. Sistem terbaru hanya berlaku setahun dan setelahnya sistem ini mandul.
Dulu, ketika zaman nilai Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) Nasional dilakukan, siswa tak perlu sibuk mencari sekolah. Cukup mendafat di sekolah, maka nilai EBTA akan memutuskan siswa diterima atau ditolak di sekolah tujuannya. Sistem ini juga tak membuat orangtua resah. Sistem ini sempat berlaku beberata tahun, namun ahhirnya dianulir ketiak orang mulai meragukan kejujuran siswa dalam menghadapi ujian.
Sistem dengan memberikan hak penuh kepada sekolah untuk menentukan anak didik yang diterima juga pernah diberlakukan. Ini juga direvisi. Kemudian secara bergantian sepanjang tahun bermunculan sistem rekrutmen siswa baru.
Sayangnya belakangan ini campur tangan politisi dalam menentukan model rekrutmen calon siswa juga sangat kental. Yang pasti, sistem PPDB saat ini lahir dari kempromi politik dan gagasan ideal pelaku pendidikan. Sistem yang lahir dari kompromi ini ternyata lebih banyak menimbulkan beban di masyarakat dibandingkan kemudahan.
Yang jelas, kita sebagai warga negara dan penduduk yang berdaulat tentu sangat berharap dunia pendidikan segera merumuskan aturan baku dalam pengelolaan rekrutmen siswa baru. Kepastian harus menjadi salah satu kata kuncinya. Tolok ukur harus jelas. Ketegasan juga harus menjadi bagian dari penerapan sistem.
Selama ini sistem yang ideal sering kali menjadi liar, ketika campur tangan politisi membuat pengambil kebijakan tidak tegas. Faktanya bisa kita lihat di sekolah-sekolah negeri. Kuota yang diterima, sekolah mungki jauh dari kata ideal dalam pembelajaran dan sarana yang ada. Yang pasti, inilah sistem yang berlaku saat ini. Aturan jelas, kompromi jalan terus.
Kita berharap PPDB jangan terus menyisakan persoalan. PPDB tahun 2019 dengan sistem zonasi harus dipublikasikan secara intensif dan dipatuhi. Sistem zonasi yang mengacu pada kedekatan jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah tujuan. Ini sesuai Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB Tahun 2019.
Proporsi siswa yang diterima melalui jalur zonasi mencapai 90 persen, sisanya lewat jalur prestasi lima persen dan lima persen lagi melalui jalur perpindahan orangtua. Dalam sistem zonasi ini juga diatur jarak maksimal tempat tinggal calon peserta didik ke sekolah yang dituju maksimal lima kilometer. Artinya, jika jarak tempat tinggal siswa di luar/lebih dari lima kilometer, dinilai sudah di luar zonasi.
Kita tentu menyadari keluarnya sistem zonasi ini dijiwai semangat memeratakan kualitas pendidikan. Dengan sistem zonasi, sebaran siswa berprestasi diharapkan bisa merata. Tidak ada lagi dikotomi sekolah favorit yang diserbu siswa berprestasi dengan sekolah non-favorit. Ke depan tentu semua sekolah berpotensi favorit karena memiliki siswa berprestasi.
Sayangnya, ada yang dilupakan dalam mengejar proporsional sekolah favorit dan siswa berprestasi. Proporsi fasilitas sekolah belumlah merata di semua zonasi. Ada sekolah yang memiliki fasilitas (pendidikan) seperti laboratorium dan sejenisnya begitu lengkap. Di sisi (zonasi) lain, ada sekolah yang jangankan memiliki fasilitas seperti laboratorium lengkap, bangku dan meja untuk belajar siswa pun alakadarnya.
Demikian juga dari proporsi SDM gurunya. Ada sekolah yang memiliki SDM guru lengkap dengan bekal kemampuan (akademis dan non-akademis) memadai. Sementara di zonasi tertentu, tidak dipungkiri masih ada sekolah yang anak didiknya terpaksa diajar kakak kelas atau bahkan rekan sekelasnya karena keterbatasan guru.
Disinilah peran guru harus diedukasi untuk menjadi ahli yang benar-benar mampu membentuk SDM unggul, berkarater dan berbudaya. Kehebatan guru tentu ketiak mereka mampu mengubah kualitas anak dididik mereka dari yang kurang berkualitas menjadi berkualitas.
Guru tentu tak bisa berharap semua bibit yang ditanganinya berkualitas dengan harapan produk akhirnya tetap berkualiats. Guru harus melakukan inovasi dalam menyikapi keragaman potensi siswa dengan sasaran akhir pendidikan menjadikan anak didiknya berkualitas dan memiliki mentalitas positif.