DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali Wayan Koster menilai keberadaan desa adat begitu vital bagi kelangsungan aspek religius, sosial dan budaya di Bali. Sebagai langkah nyata prioritas utama, maka Gubernur Koster melakukan penguatan eksistensi desa adat melalui payung hukum yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
Pemberlakuan Perda ini sendiri ditandai dengan penandatanganan prasasti di Wantilan Pura Samuhan Tiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar pada Anggara Kliwon, Kulantir Selasa (4/6). Momentum bersejarah ini akan dihadiri oleh seluruh bupati/walikota se-Bali, sulinggih dan pemangku, Parisada, Majelis Utama, Madya dan Alit Desa Pakraman, bandesa adat, kepala desa/perbekel, lurah, serta tokoh-tokoh dan perwakilan masyarakat.
Menurut Gubernur Koster, Perda ini secara garis besar mengatur secara fundamental dan komprehensif mengenai berbagai aspek berkenaan dengan desa adat di Bali untuk menguatkan kedudukan, kewenangan, dan peran desa adat.
“Ini merupakan implementasi nyata dari visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Baru Era Baru,” ungkapnya menegaskan, Minggu (2/6) di Denpasar
Pria yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Bali ini kemudian menyontohkan, melalui Perda ini desa adat mempunyai otonomi yang berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.
“Tentu saja dengan catatan, lembaga, majelis dan tiap perangkatnya harus punya pemahaman yang menyeluruh akan kewenangannya,” terang Koster.
Dijelaskannya pula, Perda ini juga menegaskan desa adat sebagai pelembagaan dalam pelaksanaan tatanan kehidupan masyarakat Bali sesuai dengan kearifan lokal Sad Kerthi.
“Desa adat ini sebagai cerminan, sebagai karakter orang Bali itu sendiri, yang diperkuat makna dan fungsinya dengan Perda ini,” jelasnya.
Begitupun dengan pengelolaan anggaran, lembaga-lembaga yang dinaungi, aset desa, hingga penggolongan krama, semuanya lebih dipertegas dan diperjelas kembali.
“Sehingga lebih jelas pengelolaannya,” ujar Gubernur Kelahiran Sembiran, Buleleng ini.
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan regulasi ini, Koster akan menjalin kerjasama serta sinergitas, antara Pemprov, majelis utama hingga alit bersama perguruan tinggi supaya semua pihak terkait mempunyai satu persepsi dan pemahaman yang sama.
“Ditunjang juga dengan sosialisasi intens, sehingga saya optimis penerapan Perda ini akan memberikan dampak besar dan menyeluruh bagi kehidupan adat, sosial, budaya dan keagamaan di Bali. Dan yang paling penting, menegaskan keberadaan desa adat di Bali, baik secara fakta maupun secara hukum,” pungkasnya.
Secara substansi, Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali ini tidak mengacu mengacu pada UU 6/2014 tentang Desa, melainkan mengacu pada UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 236 ayat (4), yang menyatakan bahwa Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Karena itu pengertian Desa Adat dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali ini secara khusus, berbeda dengan pengertian Desa Adat dalam UU 6/2014 tentang Desa.
Karena mengacu pada UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah maka Desa Adat dalam Perda ini memiliki wilayah, hak asal usul, hak-hak tradisional, susunan asli, serta otonomi asli untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Melalui Perda ini pula untuk pertama kalinya Desa Adat diakui secara resmi dan eksplisit sebagai subyek hukum dengan kedudukan hukum yang jelas dan tegas. (kmb/balipost)