Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 begitu hebatnya menyedot dan menguras perhatian dan energi bangsa Indonesia. Pilpres seakan menenggelamkan pemilihan legislatif (pileg) yang dilaksanakan serentak dengan kontestan yang justru jauh lebih banyak. Mulai dari calon anggota DPRD kabupaten/kota, provinsi dan pusat, juga berbagai partai politik. Bahkan yang paling krusial sebenarnya, Pemilu 2019 ini merupakan pilihan mempertahankan ideologi negara Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya.
Gembar-gembor ganti presiden yang dikampanyekan sebelum pemilu hanyalah sebuah umpan dari sebuah kepentingan jauh lebih besar baliknya. Yakni mengganti dasar dan ideologi negara Pancasila dengan ideologi khilafah. Kesatuan dalam kebinekaan/keberagaman pun nyaris terkoyak dengan berbagai aksi anarkis berbau SARA (suku, agama, ras dan antarolongan). Ini puncaknya terlihat saat kerusuhan 22 Mei lalu. Kelompok radikal diduga kuat ikut bermain dalam kerangka tujuan menggantikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Gagalnya skenario 22 Mei 2019 lalu, kembali membuktikan kesaktian Pancasila yang digali para pendiri bangsa dari warisan leluhur. Karena itu, momen peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 2019 bisa dinilai sekaligus sebagai Hari Kebangkitan Pancasila. Pancasila kembali menunjukkan sebagai ideologi yang paling sesuai untuk negara besar yang penduduknya heterogen terdiri dari berbagai suku, agama, ras, bahasa, adat dan budaya setempat.
Jika sudah menyadari hal ini, semestinya Pancasila menjadi landasan pola pikir dan perilaku segenap bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-harinya. Penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila haruslah dilakukan sejak dini dari lingkungan keluarga. Misalnya dari pola asuh di keluarga, lanjut ke lingkungan sekitar masyarakat yang lebih luas.
Di sini peran lembaga-lembaga informal sangat penting mengarahkan ideologi masyarakat. Ketika anggota masyarakat tiap hari dijejali paham radikal oleh lingkungannya, maka yang tumbuh dan berkembang pastilah paham radikal. Jika mereka diasuh dengan nilai-nilai Pancasila, dalam pegaulan sehari-hari juga penuh penerapan nilai-nilai Pancasila, mereka juga akan tumbuh dan berkembang menjadi sosok nasionalis Pancasilais.
Lingkungan berikutnya ketika anak-anak mengikuti pendidikan formal. Penanaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila di sekolah maupun lembaga pendidikan formal lainnya. Peran guru dalam hal ini sangat sentral. Sementara para guru juga tidak bisa dilepaskan dari kurikulum sebagai acuan dalam proses belajar mengajarnya. Jika dulu ada mata pelajaran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), barangkali sekarang perlu dibangkitkan lagi. Ini dalam kerangka memutus ideologi radikal yang ingin mengganti ideologi Pancasila.
Penyusunan kurikulum sendiri sebagai pedoman dalam proses belajar mengajar, dilakukan para pakar yang sudah daikui dan teruji kompetensinya. Mereka dibayar oleh negara dari uang rakyat. Oleh karena itu, dalam penyusunan kurikulum ini penting dilakukan seleksi atau ujian ketat terhadap ideologi para penyusunnya.
Jangan sampai anggaran yang dikeluarkan malah dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang menyusupkan orang-orang yang justru ingin menghilangkan dan mengganti ideologi Pancasila.
Dalam penyusunan anggaran ini, dipastikan melibatkan atau minimal sepengetahuan pihak legislatif. Di sinilah kembali peran masyarakat yang telah memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari untuk membentuk dan melahirkan sosok legislator nasionalis Pancasilais.
Dalam urusan terakhir inilah kentara saat pemilu kemarin. Betapa berbagai kekuatan ideologi asing berusaha masuk dan menggantikan Pancasila sebagai dasar negara. Syukurlah, skenario apik mereka dimentahkan oleh mereka sendiri karena tidak sabar dengan membuat kerusuhan 22 Mei 2019 lalu.
Di sini Pancasila kembali menunjukkan kesaktian dan kebangkitannya. Penanaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, jauh lebih penting dan berhasil dibandingkan hanya sebuah seremonial besar nan wah setahun sekali untuk tetap mempertahankan ideologi Pancasila dalam masyarakat yang berbineka dalam bingkai NKRI.