Memberikan pelajaran kepada masyarakat atau masyarakat yang memberikan pelajaran kepada para pemimpin kita? Inilah yang harus kita pertanyakan kepada para elit di Indonesia. Beberapa waktu lalu kita menyaksikan mereka saling bersalaman ketika menghadiri pemakaman Ani Yudhoyono. Tentu kita sangat menghargai fenomena tersebut karena memang itulah yang menjadi harapan semua.
Rasanya sudah waktunya para elit untuk memperlihatkan jati dirinya kepada masyarakat. Jati diri yang bagaimana? Tidak lain adalah politisi yang mampu memberikan kontribusi kesejukan kepada kita semua. Suasana kesejukan ini sangat penting kita dapatkan karena sudah hampir lima tahun kita tidak dapatkan.
Sejak periode pertama pencalonan Joko Widodo sebagai presiden sudah terasakan hal itu. Beberapa protes dan gugatan terlihat saat itu, dan berlanjut hingga kini. Kalaupun selama periode pertama pemerintahan Joko Widodo ada stabilitas, tetapi tetap ada terasa hal yang mengganggu. Di media sosial banyak hujatan yang muncul. Fenomena kekalahan Ahok dilihat masyarakat sebagai salah satu dari hal yang tidak kondusif tersebut.
Dengan itulah kita saat ini menghargai adanya pertemuan antara para elit tersebut. Dalam konteks pengaruh, pertemuan itu akan mampu menjalarkan ide dan inspirasinya kepada masyarakat yang secara struktural berada pada jenjang yang lebih rendah. Jadi, pada tingkat akar rumput, konflik tidak akan terjadi atau tidak meluas. Satu yang harus kita ingat adalah bahwa untuk mencapai rekonsiliasi atau pertemuan yang menyejukkan itu sudah tentu tidak harus dilaksanakan hanya saat ada kejadian-kejadian khusus, seperti berpulangnya Ibu Ani.
Titik lain yang bisa dilihat dari sisi ini adalah, bahwa politik itu adalah sebuah fenomena yang cair. Dalam arti bahwa sangat tergantung kepada aktornya dan sifat-sifat yang melekat pada mereka. Pekerjaan rumah yang harus kita lakukan sekarang adalah bagaimana para politikus yang akan berlaga dalam kompetisi politik dapat memiliki sifat-sifat yang mendukung pada kondusivitas suasana kehidupan bernegara dan berbangsa, sehingga dapat memberikan kesejukan pada masyarakat.
Ini bukan pekerjaan yang mudah tetapi memerlukan perjuangan yang panjang melalui pendidikan. Yang kita maksudkan bukan hanya pada pendidikan formal seperti di sekolah-sekolah, tetapi juga pada pendidikan diluar sekolah yang sering disebut sebagai pendidikan alami. Ada juga yang menyebut sebagai universitas alam. Sering kali pengalaman yang ada pada kehidupan sosial yang sesungguhnya mampu memberikan penyadaran kepada kita semua. Bahkan pengalaman ini mampu mengalahkan pendidikan formal. Menjadi besar hati karena menerima kekalahan misalnya, merupakan pelajaran alami yang tidak dapat didapatkan di bangku kuliah. Hanya dengan belajar dari alam dan peristiwalah hal itu akan terjadi.
Sebagai masyarakat yang berbudaya, Indonesia sudah mempunyai nilai-nilai tradisional untuk menjadikan kekalahan sebagai sebuah kemenangan. Menang tanpo ngasorake merupakan nilai tradisi yang mengajarkan masyarakat untuk menghargai kemenangan dan juga menghargai kekalahan. Artinya, merangkul yang kalah. Kita tinggal memperbarui nilai tersebut pada kehidupan di zaman sekarang.
Di negara lain, misalnya katakanlah di dunia sepak bola. Dalam sebuah kejuaraan pasti mereka yang kalah di final yang akan terlebih dahulu diberikan kalung medali. Ketika berjalan menerima kalungan medali, mereka akan berjalan di dalam pagar lawannya yang berhasil menjadi pemenang.
Ini adalah sebuah sikap hormat terhadap mereka yang kalah. Dengan ada pihak yang kalah, maka sang pemenang akan tahu dan membuktikan kemenangannya. Tanpa ada pihak yang kalah, tidak akan mungkin ada pemenang. Maka yang kalah pun harus dihormati.
Melalui hal inilah kita akan berusaha membangun karakter-karakter politisi yang mampu memberikan sumbangan positif kepada masyarakat. Ke depan kita akan dapat melihat Indonesia yang aman dan sejahtera. Indonesia benar-benar memerlukan politisi yang bijaksana.