Oleh Djoko Subinarto
Proses berbangsa dan bernegara kita perlu terus diupayakan bergerak ke arah yang lebih sehat, lebih optimistis dan lebih menjanjikan. Dengan begitu, ia akan menumbuhkan harapan dan keyakinan segenap warga negeri ihwal terwujudnya kehidupan yang menyejahterakan dan membahagiakan.
Pertanyaannya adalah: seperti apakah sosok dan paras Indonesia 50 atau bahkan 100 tahun ke depan? Akankah Indonesia menjadi sebuah negara yang lebih baik, lebih sehat, lebih elok, lebih sejahtera? Ataukah Indonesia justru menjadi lebih buruk, lebih jelek, lebih miskin dan mewujud menjadi sebuah negara gagal serta akhirnya harus bubar?
Fakta bahwa Indonesia masih berdiri hingga detik ini, tentu saja, patut kita syukuri. Pertanyaannya adalah: seperti apakah sosok dan paras Indonesia 50 atau bahkan 100 tahun ke depan? Akankah Indonesia menjadi sebuah negara yang lebih baik, lebih sehat, lebih elok, lebih sejahtera? Ataukah Indonesia justru menjadi lebih buruk, lebih jelek, lebih miskin dan mewujud menjadi sebuah negara gagal?
Kita harus akui, Indonesia hari ini masih belum menjadi sebuah negara ideal yang kita cita-citakan, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Negara ideal yang dimaksud adalah sebuah bentuk negara kesejahteraan. Masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dibereskan oleh bangsa ini agar republik ini menjadi sebuah negara yang betul-betul sejahtera.
Salah satu PR itu adalah memberantas praktik korupsi, yang hingga kini masih jelas-jelas membelit erat negera kita. Virus korupsi merajalela menyusup ke pelbagai sendi kehidupan di negeri ini. Korupsi seakan telah menjadi budaya dan bagian yang tidak terpisahkan dari perilaku bangsa ini, dalam level apa pun, hingga ke desa-desa. Selain dapat menghambat tingkat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga merongrong fondasi tata kelola pemerintahan yang baik. Inti dari tata kelola pemerintahan yang baik adalah adanya layanan publik yang andal dan terpercaya. Praktik korupsi meniadakan keduanya.
Karena virus korupsi pula, hukum yang semestinya hanya memihak kepada kebenaran justru kini lebih sering memihak kepada mereka yang memiliki kekuasaan. Hukum menjadi loyo tak berdaya nyaris setiap berhadapan dengan mereka yang memiliki power. Buntutnya, hukum kita lebih sering tajam ke bawah, dan tumpul ke atas. Masyarakat akhirnya kehilangan kepercayaannya kepada aparatur penegak hukum kita.
Di sisi lain, kesenjangan ekonomi di negeri ini masih menganga lebar. Pelbagai kajian memperlihatkan bahwa jurang perbedaan antara mereka yang kaya dan yang miskin cukup mencolok. Jika terus dibiarkan, tentu, ini akan bisa memicu kecemburuan sosial yang sewaktu-waktu dapat memicu konflik sengit horizontal.
PR-PR lainnya juga tidak boleh dipandang sebelah mata. Perubahan iklim, kedaulatan energi, degradasi lingkungan, ancaman krisis pangan, ledakan penduduk, terorisme, radikalisme, intoleransi, narkoba, gizi buruk, pengangguran usia muda, kelangkaan air bersih, serta epidemis penyakit menular, itu semua membutuhkan perhatian dan penanganan serius.
Semua PR tersebut mesti kita atasi. Mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar sehat adalah salah satu kunci dalam menyelesaikan PR-PR tersebut di atas. Bruce Adams (1995) menyebutkan bahwa ciri-ciri bangsa sehat antara lain yaitu mementingkan persatuan dan kesatuan, mencari pemecahan masalah secara damai, mementingkan kepentingan umum, mandiri, menitikberatkan win-win solution, toleransi dan saling menghargai, mengedepankan kerja sama, penuh percaya diri, memberdayakan masyarakat, senang pembaruan, serta senantiasa memikirkan masa depan.
Sedangkan ciri-ciri bangsa yang sakit, menurut Bruce Adams, antara lain adalah selalu muncul perpecahan, mengedepankan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, mementingkan kepentingan golongan/pribadi, tidak mandiri, menitikberatkan win-lose solution, mengedepankan konfrontasi, timbulnya apatisme di kalangan warga, penumpukan kekuasaan, benci pembaruan, serta selalu sibuk memperdebatkan masa lalu.
Pandangan Optimistis
Tentu saja, kita tidak boleh sama sekali pesimistis dalam menuntaskan PR-PR yang kita miliki. Sikap dan pandangan optimistis justru kita perlukan. Lebih-lebih lagi para pemimpin dan calon pemimpin bangsa ini. Mereka harus memiliki sikap serta pandangan yang senantiasa optimistis.
Kita tahu salah satu hakikat sejati sebuah kepemimpinan adalah untuk memecahkan persoalan. Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang bisa menjadi pemecah persoalan. Sebaliknya, kepemimpinan yang buruk adalah kepemimpinan yang menjadi bagian dari persoalan atau malah ikut memperburuk persoalan yang sudah ada. Siapa pun yang didapuk menjadi pemimpin, ia harus benar-benar menjadi pemecah persoalan, bukan malah kemudian menjadi bagian dari persoalan atau justru ikut menambah ruwet persoalan.
Sebagai problem solver, sikap dan pandangan optimistis seorang pemimpin sangat dibutuhkan. Dengan memiliki sikap dan pandangan optimistis, seorang pemimpin bakal lebih mampu melahirkan pelbagai pemikiran dan ide positif cemerlang, yang pada gilirannya bakal membantunya menghasilkan inovasi-inovasi serta solusi-solusi atas pelbagai persolaan.
Di samping itu, sikap dan pandangan optimistis juga akan menumbuhkan harapan dan keyakinan diri dalam menghadapi aneka tantangan dan persoalan — seberat apa pun. “Optimism is the faith that leads to achievement. Nothing can be done without hope and confidence,” begitu pernah dikatakan Helen Keller. Karenanya, kepemimpinan optimistis jauh lebih kita butuhkan ketimbang kepemimpinan pesimistis.
Maka, siapa pun yang ditakdirkan menjadi pemimpin negeri ini, sebaiknya memang bukan hanya pintar, cakap, jujur serta rela berkorban, tetapi juga benar-benar mempunyai sikap dan pandangan yang senantiasa optimistis. Dengan begitu, ia akan menumbuhkan harapan dan keyakinan segenap warga negeri ini bahwa proses kehidupan berbangsa dan bernegara kita senantiasa bakal bergerak ke arah yang semakin baik serta semakin membahagiakan, lahir maupun batin. Moga-moga.
Penulis adalah kolumnis dan bloger