PPDB
Para orangtua murid sedang mendaftar PPDB. (BP/dok)

Bulan Juni dan Juli bisa disebut bulan sibuk bagi masyarakat yang memiliki anak yang melanjutkan studi ke SD, SMP, SMA/SMK dan perguruan tinggi. Fokus orangtua pada Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB.

Model PPDB pun terus berubah dan selalu menyita banyak perhatian. Alasannya, masalah pendidikan adalah masalah kita bersama. Siapa pun termasuk orangtua kita tak mau anaknya tak mendapatkan sekolah terbaik atau mininal sekolah negeri yang dekat dengan rumahnya.

Untuk itulah, PPDB yang diatur dalam Permendikbud No. 51 Tahun 2018 bahwa kuota 90 persen penerimaan lewat jalur zonasi, 5 persen lewat jalur prestasi, dan sisanya jalur perpindahan. Namun di Bali, hampir tiap tahun terjadi kisruh PPDB akibat semua orang memiliki kepentingan tertentu.

Pemprov Bali sudah memiliki juknis PPDB tingkat SMA dan SMK negeri. Sementara pemkab dan pemkot di Bali sebagian sudah memiliki Perbup dan Perwali. Gubernur Bali Wayan Koster menjamin semua lulusan SMP di Bali akan terserap di semua SMA/SMK, baik di negeri maupun swasta, sehingga tak ada istilah anak yang tercecer lagi.

Baca juga:  Perlu Sosialisasi Lebih Luas

Istilah terakhir inilah yang sering dipakai Komisi Pendidikan DPRD Bali sejak dua tahun lalu untuk membuat pernyataan politik bahwa banyak siswa yang tak mendapatkan sekolah. Akhirnya membuat PPDB jilid II saat kepemimpinan Gubernur Mangku Pastika. PPDB jilid II ini membuat semua ruang perpustakaan, lab dan lainnya disulap menjadi ruang kelas. Lihat saja kasus SMAN 2 Abiansemal yang sejak dua tahun lalu menerima siswa baru, sampai sekarang tak memiliki gedung sekolah riil.

Dengan pernyataan Gubernur Koster itu paling tidak masyarakat mendapat jaminan tahun ini tak akan ada praktik PPDB jilid II. Koster ingin semua PPDB berjalan baik, jalur zonasi menggunakan kedekatan dengan jarak rumah dan sekolah lewat potret udara, jalur prestasi pun makin detail lagi syaratnya. Jalur ini sering membuat persepsi berbeda di kalangan operator di sekolah karena prestasi internasional bidang fashion mengalahkan juara I silat di Porjar Bali. Jalur inilah yang diperkirakan makin krodit tahun ini.

Baca juga:  Berdemokrasi yang Santun

Untuk PPDB SMP/sederajat diatur oleh pemkab pemkot di daerah. Di PPDB ini lebih seru lagi karena sebagian besar warga akan mengejar sekolah negeri karena akibat pendidikan gratis. Namun, bukan menggunakan alasan wajib belajar 12 tahun diartikan semua lulusan SD dan SMP harus diterima di sekolah negeri. Kita perlu memikirkan keberlangsungan sekolah swasta juga yang banyak berperan dalam mencerdaskan anak bangsa. Buktinya di Badung dan Karangasem makin banyak sekolah swasta yang gulung tikar akibat kebijakan PPDB dan kalah bersaing. Kekurangan kuota di sekolah negeri mestinya diarahkan ke sekolah swasta.

Hal lain yang perlu dikritisi pada PPDB tahun ini yakni tidak adanya keadilan bagi siswa cerdas. Hak siswa cerdas semakin hilang. Pasalnya, nilai Ujian Nasional (UN) tak dipakai lagi. Paling-paling hanya dipakai saat dua siswa atau lebih memiliki jarak zonasi yang sama dan mendaftar di waktu yang sama. Lalu apa gunanya kita gencar menggelar UN baik itu UNKP dan UNBK yang berintegritas. Bukankah evaluasi pendidikan dilakukan guna membedakan siswa yang berprestasi normal, tinggi, dan rendah.

Baca juga:  Kecerdasan yang Bermoral dan Beretika

Jika hanya mengandalkan zonasi, dalam jangka panjang kita akan mengajarkan warga untuk berdomisili di kawasan dekat sekolah. Atau paling tidak memanipulasi tempat domisili menjelang enam bulan pelaksanaan PPDB.

Ketiga, pemerintah lupa dengan manajemen berbasis sekolah, mestinya sekolah diberi wewenang untuk menentukan siswa berprestasi yang diperlukan. Sebab, model PPDB ini tak memungkinkan sekolah merekrut calon siswa yang meraih juara saat mengadakan HUT sekolah. Gejala itu sudah tampak minimnya peserta lomba di sekolah negeri lantaran piagam itu tak mendapat jaminan meraih kursi gratis di sekolah pilihannya.

Memang secara teori dengan sistem zonasi tak ada lagi istilah sekolah favorit, namun di mata masyarakat tetap saja sudah menentukan pilihan di sekolah yang dianggap berkualitas. Solusi terbaik yang mesti dilakukan pemerintah yakni menyebar kembali guru di sekolah favorit ke sekolah lain. Termasuk jabatan kepala sekolahnya diputar agar bisa mengimbas ke sekolah lain.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *