Wayan Sukartini, istri Nyoman Suardana A dari Dusun/Desa Manggis Sari, Kecamatan Pekutatan Jembrana di rumah gubuk mereka yang nyaris roboh. (BP/kmb)

Sebenarnya atau idealnya, visi politik itu tidaklah berubah. Semestinya dan memang harus sama, meskipun gonta-ganti pemimpin yang berkuasa. Visinya adalah: menyejahterakan rakyatnya dalam arti luas. Itu saja. Yang berubah-ubah adalah taktik serta strateginya, tergantung situasi saat itu.

Karena kondisi negara selalu berubah ada dinamikanya, tantangannya berbeda setiap zaman. Itu makanya setiap zaman ada pemimpinnya, dan setiap pemimpin ada zamannya. Itu dalam konteks pemimpin yang menonjol. Sedangkan bagi yang biasa-biasa saja, atau medioker, tidak terlalu mentereng dalam catatan sejarah.

Tidak monumental karena karyanya juga tidaklah terlalu fundamental. Sekadar numpang lewat atau hanya mengisi kekuasaan.

Tetapi mengapa selalu ada visi serta misi yang ditekankan kepada setiap perhelatan pergantian kepemimpinan? Atau pemilihan jabatan politik baik di tingkat nasional maupun daerah? Apakah itu pemilihan presiden, gubernur, bupati, atau wali kota?

Baca juga:  Mengawal Peradaban Bangsa Lewat Pendidikan

Jawabannya barangkali hanya sederhana. Hanya untuk mengingatkan. Membuka mata lebih lebar dari calon pemimpin bahwa menjadi orang nomor satu itu mesti visinya jelas, menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Sejahtera dalam konteks ekonomi, budaya, politik, keamanan, sosial dan sebagainya. Itu harus. Itu digariskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Celakanya, sering kali di tengah perjalanan, para penguasa ini lupa dengan visi-misi utamanya. Mereka cenderung mengejar keuasaan untuk kekuasaan itu sendiri. Mengalokasikannya untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, dan partai politik di mana dia berasal serta partai politik lain yang ikut dalam koalisi yang mengusungnya. Maka dari itu, sering kali pula, banyak pemimpin yang tersandung hukum.

Baca juga:  Meningkatkan Kepekaan Humanisme dalam Ber-"Yadnya"

Kalaupun tidak, dia justru tersandung oleh tindakannya sendiri yang melenceg dari janji-janji semula. Dia mulai kehilangan dukungan masyarakat yang dulunya berharap banyak. Hal ini semakin tidak terarah lagi manakala antara eksekutif dan legislatif yang diharapkan sebagai penyeimbang justru ikut larut dalam skenario ini. Skenario mereka sama-sama lupa visi semula. Berkuasa untuk kepentingan rakyat. Rakyat yang memilihnya atau berada dalam koridor pemilihnya maupun yang tidak.

Baca juga:  Tantangan Ekonomi Makin Besar

Kerap terjadi, ada semacam aksi ‘’balas dendam’’ seorang pemimpin kepada masyarakat yang pada saat pemilihan tidak memilihnya. Mereka cenderung akan kesulitan mendapatkan bantuan ataupun fasilitas pembangunan yang semestinya mereka terima. Ini tentu menyalahi visi seorang pemimpin.

Semestinya dia melakukan pendekatan, taktik, dan strategi bagaimana dia masuk ke kantong masyarakat yang dulu tidak memilihnya. Ini sebuah keharusan karena pemimpin itu mesti mengayomi seluruh masyarakat.

Diingatkan agar pemegang kekuasaan tidak salah jalur atau melupakan jalur utamanya. Saling mengingatkan serta koreksi bersama secara bertanggung jawab. Dengan demikian, visi utama untuk menyejahterakan rakyat dalam arti luas akan lebih terjaga.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *