Ilustrasi. (BP/ist)

Oleh Galih Wicaksono, S.E., M.Si., Akt.

Orang bijak mengatakan bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian dan pajak. Untuk urusan kematian merupakan wilayahnya rohaniwan. Sedangkan pajak adalah urusan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Sehingga sebagai warga negara yang baik, masalah pajak bukan hanya masalah kita, namun merupakan masalah bersama baik bagi pemerintah maupun warga negara.

Dewasa ini, penerimaan negara Indonesia sebagian besar berasal dari pajak, bukan berasal dari sektor migas. Merujuk pada Data Kementerian Keuangan, tidak kurang dari 80 persen postur pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperoleh dari sektor pajak. Pada tahun 2018, pendapatan negara Rp 1.894,7 triliun, Rp 1.618,1 triliun berasal dari penerimaan pajak dan sisanya berasal dari penerimaan negara bukan pajak.

Besarnya porsi penerimaan pajak menandakan bahwa pajak merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan pembangunan negara untuk menyejahterakan masyarakat. Sudah selayaknya setiap warga negara mengetahui dengan baik setiap aspek perpajakan serta didukung dengan kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.

Apabila penerimaan pajak secara berkesinambungan selalu terjaga dan bahkan dapat meningkat secara signifikan, tentu saja pembangunan selalu berjalan sesuai rencana pemerintah, sehingga diharapkan kemakmuran masyarakat akan tercapai dan terwujudnya kemandirian bangsa pada masa mendatang. Namun, berdasarkan beberapa penelitian dan kajian lapangan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, diketahui bahwa terjadi ketimpangan kondisi perpajakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pajak. Di dunia akademik, selama ini pajak hanya dipelajari oleh mahasiswa dengan latar belakang ilmu perpajakan, akuntansi, ekonomi, hukum, dan administrasi.

Sementara dalam pendidikan dasar, hanya didapatkan pada tingkat Sekolah Menengah Atas pada konsentrasi ilmu pengetahuan sosial. Untuk siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, belum dikupas secara tuntas, hanya terdapat pengenalan yang hanya bersifat umum, tanpa adanya substansi pada permasalahan pajak.

Baca juga:  Ringankan Beban Ekonomi, Kebijakan Gubernur Koster Disambut Antusias

Berdasarkan beberapa hal tersebut, karena masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat, maka tentu saja berimplikasi pada rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap pajak, kecuali pajak daerah seperti pajak kendaraan bermotor yang memang diwajibkan dan diketahui secara meluas di masyarakat.

Pada tahun 2017, Direktorat Jenderal Pajak sudah mengadakan program Pajak Bertutur. Program tersebut merupakan sosialisasi mengenai pajak yang menyasar siswa Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan mahasiswa pada perguruan tinggi. Program tersebut penulis rasa bagus dalam menyosialisasikan pajak ke kalangan generasi muda, karena sifatnya yang serentak di seluruh Indonesia dan programnya juga dikemas dengan hiburan serta tidak membosankan, namun tidak meninggalkan materi mengenai kesadaran pajak.

Walaupun program tersebut sudah bagus, namun penulis merasa hal tersebut belum maksimal. Hal ini dikarenakan program tersebut hanya dilakukan dalam sehari di sekolah dan kampus yang menjadi target sasaran sosialisasi, sehingga menurut penulis hal tersebut masih belum efektif. Walau bagaimanapun kita perlu mengacungi jempol atas usaha yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak.

Oleh karena itulah, kesadaran akan pajak penting. Khususnya menanamkan kesadaran pajak pada usia dini dan kalangan milenial. Butuh suatu terobosan dan inovasi dalam pengenalan pajak bagi masyarakat, khususnya pemahaman pajak pada usia dini, baik bagi siswa Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, maupun mahasiswa di perguruan tinggi.

Hal ini dikarenakan pada usia dini, seorang siswa dan mahasiswa masih relatif mudah ditanamkan berbagai karakter dan penanaman sikap dasar. Sehingga apabila penanaman nilai kesadaran pajak berhasil pada usia dini, diharapkan para remaja tersebut pada saat dewasa misalkan saat bekerja maupun mempunyai usaha, mereka sudah memiliki kesadaran akan kewajiban pajak dan mengerti pentingnya pajak bagi penerimaan dan pembangunan negara.

Pajak adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan Direktorat Jenderal Pajak. Andaikan penerimaan pajak kurang maksimal, tentu saja dampaknya yaitu akan membebani APBN. Hal ini dikarenakan penerimaan pajak yang sangat mendominasi dalam penerimaan negara, yaitu sekitar 80 persen penerimaan negara yang berasal dari pajak.

Baca juga:  Mensinergikan Merdeka Belajar

Dapat kita bayangkan apabila penerimaan pajak tidak maksimal, tentu saja akan mengganggu beberapa pos pengeluaran pembangunan yang dianggarkan oleh pemerintah. Beberapa pos tersebut misalkan untuk pembangunan infrastruktur, sarana-prasarana pendidikan dan kesehatan, subsidi ke masyarakat, maupun beberapa pengeluaran lain yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat. Tentu saja hal tersebut akan mengganggu kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat, yang akan berimbas pada menurunnya kesejahteraan masyarakat.

Apabila kesejahteraan masyarakat menurun, daya saing bangsa juga akan menurun. Kita semua tidak mau hal tersebut terjadi. Sehingga mulai sekarang, perlu adanya pendekatan secara komprehensif dan bersifat menyeluruh untuk meningkatkan kesadaran pajak, khususnya menanamkan kesadaran pajak pada usia dini, usia yang masih bisa secara maksimal dinanamkan nilai-nilai kesadaran pajak.

Penulis menawarkan beberapa solusi mengenai penanaman kesadaran pajak pada usia dini. Solusi pertama, pengetahuan pajak hendaknya dimasukkan dalam kurikulum mata pelajaran maupun mata kuliah pada tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, maupun di perguruan tinggi tanpa memandang program studi maupun jurusan tertentu di sekolah dan kampus. Pada Sekolah Dasar dan Menengah, pengetahuan pajak dapat dimasukkan dalam pelajaran pendidikan kewarganegaraan.

Tidak hanya satu pokok pembahasan, misalkan terdapat pada dua pokok pembahasan. Pokok pembahasan pertama mengenai pentingnya pajak bagi pembangunan negara, sedangkan pada pokok pembahasan kedua mengenai kepatuhan pajak merupakan salah satu kewajiban warga negara dan tanda seorang warga negara mencintai tanah air dan bangsa.

Muatan dalam pokok pembahasan tentang pajak harus dikaji secara mendalam oleh pihak-pihak terkait seperti Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan untuk materi pajak di perguruan tinggi, bisa dimasukkan dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan sebanyak dua pokok pembahasan.

Pokok pembahasan pertama mengenai kewajiban warga negara untuk menjadi wajib pajak. Sedangkan pokok pembahasan kedua mengenai hak dan kewajiban wajib pajak. Materi secara spesifik harus dirumuskan dengan baik oleh Direktorat Jenderal Pajak maupun Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, sehingga materi akan tepat sasaran.

Baca juga:  IC Consultant Resmi Buka Kantor di Bali

Solusi kedua, perlunya sosialisasi berkelanjutan dari Kantor Pajak kepada generasi muda, baik yang berada di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan kampus. Sosialisasi tersebut mengenai pentingnya pajak dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Sosialisasi diselenggarakan minimal selama setahun dua kali, dengan cara setiap petugas kantor pajak yang bertugas, presentasi tentang pentingnya pajak dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Solusi ketiga, pemerintah perlu mensosialisasikan tentang kewajiban mendaftarkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi kalangan muda, seperti mahasiswa yang mau lulus kuliah. Kewajiban NPWP harus dibuat semenarik mungkin, misalkan NPWP dibuat sebagai syarat mendapatkan pekerjaan di instansi swasta, melamar pegawai negeri sipil, maupun pegawai BUMN.

Selain itu, perlu adanya insentif yang menarik bagi pemuda yang memiliki NPWP, misalkan dibebaskan dari pengenaan pajak tertentu dengan menunjukkan NPWP. Pemilik NPWP juga diprioritaskan dalam mendapatkan pelayanan dalam pemerintah, misalkan pada saat mengurus KTP, kartu keluarga, SKCK, kartu pencari kerja, dan lain sebagainya pelayanan yang berkaitan dengan pelayanan birokrasi pemerintah.

Dengan adanya beberapa solusi tersebut, maka tentu saja diharapkan akan menumbuhkembangkan pengetahuan generasi muda dalam kewajiban pajak. Dengan adanya pengetahuan yang memadai, tentu saja akan menciptakan kesadaran pajak sejak dini. Dengan adanya kesadaran pajak, diharapkan para generasi muda tersebut memahami dengan baik akan kewajiban pajak yang harus dipenuhi. Sehingga penerimaan pajak pada masa mendatang akan selalu meningkat, dengan harapan pembangunan di Indonesia juga meningkat, serta menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat untuk mewujudkan Indonesia yang maju, adil, dan makmur.

Penulis, pengamat ekonomi dan sosial, Universitas Jember, Alumni S-2 Akuntansi, Universitas Diponegoro, Semarang

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *