DENPASAR, BALIPOST.com – Kesenian sakral Wayang Wong milik Desa Pakraman Tejakula, Kecamatan Tejakula, Buleleng, tampil memeriahkan PKB ke-41 di Kalangan Angsoka, Art Center Denpasar, Selasa (18/6). Mengangkat cerita “Gugurnya Patih Prahasta” yang membela kerajaan Alengka dalam kisah Ramayana, kesenian yang berkembang sejak abad ke-17 ini melibatkan 35 seniman dari Sanggar Wayang Wong Guna Murti Tejakula dan membawakan 23 topeng.
Menariknya, meskipun tergolong kesenian sakral, animo masyarakat menyaksikan pementasan Wayong Wong sangat tinggi. Sejak awal pementasan hingga akhir, penonton tetap setia memenuhi Kalangan Angsoka. Tidak hanya masyarakat lokal, wisatawan mancanegara juga tampak serius menyaksikan adegan demi adegan yang diperankan para seniman asal Tejakula tersebut.
Menurut Ketua II Sanggar Wayang Wong Guna Murti Tejakula, Ketut Suarna Dwipa, kesenian Wayang Wong Tejakula merupakan warisan turun-temurun Desa Pakraman Tejakula. Kesenian ini bertahan dengan cara yang mistis. Namun, saat ini tarian Wayang Wong Tejakula bukan hanya menjadi bagian upacara di pura-pura wilayah Desa Pakraman Tejakula, tetapi juga dipentaskan sebagai tontonan (acara hiburan) sejak 1975 silam. Hanya, untuk pentas tontonan menggunakan tapel (topeng) duplikat, bukan aslinya yang diwarisi dari abad ke-17.
Wayang Wong Tejakula adalah tradisi budaya cukup tua dan melalui proses kelahiran yang mistis. Ketika itu, salah seorang kepercayaan Ida Batara yang berstana di Pura Maksan mendadak kerauhan (kerasukan). Melalui raga orang kepercayaannya yang kerauhan, Ida Batara meminta harus ada kesenian Wayang Wong yang dipentaskan di Pura Maksan dan pura-pura lainnya wilayah Desa Pakraman Tejakula.
Menurutnya, saat ini jumlah tapel Wayang Wong Sakral Tejakula 100 lebih yang wajahnya menyerupai tokoh-tokoh dalam epos Ramayana. Ratusan topeng tersebut dibagi dalam beberapa kelompok, seperti Kelompok Rama, Laksamana, Sugriwa, Wibisana, Rahwana, Kumbakarna, Raksasa, dan Kelompok Punakawan.
Tapel (topeng) itu kini distanakan di Pura Maksan Tejakula. Topeng-topeng ini hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu ketika pementasan sakral Wayang Wong Tejakula di pura-pura. Pemakainya adalah Sekaa Wayang Wong Tejakula yang anggotanya mencapai ratusan orang.
Dulunya Wayang Wong Tejakula tak bisa dipentaskan di sembarang tempat dan sembarang waktu. Pementasan sakral Wayang Wong Tejakula hanya dibolehkan saat ada piodalan ageng di Pura Kahyangan Tiga, piodalan di Pura Danka, serta upacara Ngenteg Linggih. Sebelum digunakan ngigel (menari), topeng-topeng itu harus melalui proses upacara Bakti Pamungkah yang dilangsungkan di Pura Maksan.
Pementasan Wayang Wong Tejakula “Gugurnya Patih Prahasta” ini tidak berkaitan dengan Tema PKB “Bayu Praman: Memuliakan Sumber Daya Angin”. “Kalau dari tema, mungkin lepas dari tema PKB. Rencananya kami mengangkat kisah ”Gugurnya Kumbakarna” yang relevan dengan tema PKB, namun karena pemeran Kumbakarna sakit akibat kecelakaan akhirnya kami mengubah ceritanya. Latihannya cuma lima hari sebelum tampil,” tandas Swarna Dwipa seusai pementasan.
Antusiasme generasi muda untuk berperan dalam Wayang Wong Tejakula sangat tinggi. Perekrutan anggota dilakukan lewat seleksi ketat agar pada saat memerankan tokoh dalam cerita Wayang Wong tidak melenceng dari makna dan filosofi Wayang Wong tersebut. Wayang Wong Tejakula telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda pada 2016 lalu. (Winata/balipost)