Ekonomi dunia makin lesu. Tepat tiga tahun ketika Indonesia menerapkan kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty. Banyak pihak menilai kebijakan tersebut pas ketika dilakukan saat ekonomi global kian merangkak. Namun, sebagian pihak menilai sangat tak tepat karena usai tax amnesty yang juga bertujuan untuk mendapatkan penerimaan pajak lebih banyak pada tahun berikutnya, dunia usaha sedang melemah.
Syukur kita berada di Bali, tak begitu merasakan betapa dahsyatnya pelemahan ekonomi nasional. Ini disebabkan Bali banyak ditunjang oleh sektor pariwisata, yang juga tak lepas dari pengaruh ekonomi global. Namun, tak sedahsyat yang dirasakan oleh warga lain di luar Bali.
Tanda-tanda pelemahan ekonomi itu bisa kita lihat dari makin turunnya daya beli masyarakat, pasar sepi pembeli dan kios serta toko banyak yang tutup. Hanya, rumah sakit dan dunia pendidikan yang tak kentara merasakan akibatnya. Namun, ada juga gejala pasien tertentu mengurangi membeli obat untuk satu bulan menjadi 15 hari dan banyaknya tunggakan uang pendidikan di sekolah.
Kalangan pebisnis menilai sikap Kementerian Keuangan yang tak konsistem dalam mengimplementasikan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) dinilai akan menimbulkan distorsi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah. Pemerintah merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118 Tahun 2016 dan menempatkan beleid layaknya program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid IV. Hal itu dilakukan demi mengejar penerimaan pajak yang baru sekitar 70 persen dari target Rp 1.283,57 triliun. Dalam revisi ini, pemerintah memberi kelonggaran bagi wajib pajak untuk menggunakan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan (SKB PPh) agar bisa memperoleh fasilitas pembebasan PPh dengan melakukan balik nama atas tanah dan bangunan yang dideklarasikan pada program tax amnesty sebelumnya. Kebijakan ini tentu akan menuai kontra, terutama dari para wajib pajak yang sudah patuh mengikuti tax amnesty.
Kita akui tax amnesty juga memberi nilai tambah yakni membuat wajib pajak tak terbebani dengan tarif tinggi dan memberikan sumbangsih kepada penerimaan negara. Tax amnesty yang dijalankan sejak tiga tahun lalu, kita ambil hikmahnya bahwa kita diedukasi untuk patuh membayar pajak. Di sisi lain, ada peluang bagi wajib pajak, khususnya dari kalangan pengusaha, untuk terus memperbaiki tingkat kepatuhan dan pembayaran pajak.
Yang jelas, pajak bukan uang milik kita, melainkan harus disetorkan kepada negara demi pembangunan dan memperkuat Indonesia. Jika pola pikir kita lurus seperti itu, kita mesti patuh membayar pajak. Toh pemerintah sudah memberi kesempatan berupa pengampunan.
Kita perlu meniru negara Eropa yang penerimaan sektor pajaknya sangat tinggi. Termasuk dalam pajak penghasilan. Lihat saja Jerman, dia tak peduli apakah WNA atau warganya, kalau sudah berpenghasilan dikenakan pajak tinggi. Untuk perawat saja bisa dikenakan hingga Rp 8 juta/bulan, tentu sesuai jumlah penghasilan mereka. Yang kedua, mereka konsisten dan aparatnya bersih menjalankan tugas. Apakah aparat kita juga demikian?