DENPASAR, BALIPOST.com – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap tujuh karyawan di Rumah Sakit Karya Dharma Husada, Singaraja berbuntut panjang. Serikat Pekerja Mandiri (SPM) di RS tersebut mengadukan dan memohon perlindungan kepada DPRD Bali, Rabu (19/6). Dewan pun menemukan adanya unsur pidana yang dilakukan manajemen RS, khususnya dalam memberikan gaji karyawan yang tidak sesuai dengan upah minimum.
Dalam pertemuan kemarin, pihak manajemen RS sebetulnya turut hadir. Namun upaya mediasi yang dilakukan dewan melalui Komisi IV berjalan buntu. Pihak manajemen berdalih tidak melakukan PHK, melainkan tidak memperpanjang kontrak pekerja yang sudah berakhir.
Kontrak tidak lagi diperpanjang karena setelah dilakukan evaluasi, pekerja bersangkutan tidak lagi dibutuhkan perusahaan. “Kalau kami niatnya dari awal ingin memediasi mereka agar pihak karyawan yang ingin bekerja lagi diterima karena sesungguhnya dasar PHK juga tidak jelas. Tapi, dari pihak perusahaan ngotot mengatakan bahwa tidak mau lagi menerima karyawan itu dengan berbagai alasan,” ujar Ketua Komisi IV DPRD Bali I Nyoman Parta, usai pertemuan.
Parta menyayangkan cara-cara perusahaan yang ingin merekrut tenaga kerja baru, dengan mengeluarkan tenaga kerja lama ketika menuntut hak-haknya. Ini merupakan cara-cara klasik dalam dunia perburuhan di Bali. Padahal pemerintah lewat Dinas Tenaga Kerja setempat sudah merekomendasikan secara tertulis agar tenaga kerja tersebut diangkat menjadi karyawan tetap.
Namun, perusahaan tidak menggubris dan malah menantang membawa ke pengadilan. “Khusus yang rumah sakit ini, ada juga kejadian yang menurut saya sudah masuk ke wilayah pidana. Yaitu pihak pengusaha sesungguhnya tidak memberikan upah sesuai dengan UMK Buleleng,” imbuh politisi PDI-P asal Guwang, Gianyar ini.
Ia mengatakan pihak rumah sakit menyampaikan kepada BPJS bahwa para pekerja termasuk yang di-PHK sudah diberikan upah sesuai dengan UMK. Awalnya, para pekerja diberikan gaji Rp 1,5 juta. Saat berganti manajemen, tiba-tiba hanya diberikan Rp 800 ribu.
Perubahan ini sempat memunculkan kesepakatan agar pekerja mendapat gaji Rp 1,7 juta. Besaran ketiga gaji tersebut sama-sama masih di bawah UMK.
Namun kepada BPJS, justru disampaikan secara resmi bahwa gaji yang diberikan kepada pekerja adalah sebesar Rp 2.165.000 atau sesuai UMK. “Pihak buruh atau penerima gaji akan melaporkan kepada pihak kepolisian. Kami juga mengharapkan agar pihak kepolisian melakukan penyelidikan terhadap adanya informasi ini, bahwa pihak rumah sakit telah membuat data palsu,” jelasnya.
Menurut Parta, status buruh di Bali selama ini masih lemah. Termasuk di RS tersebut, mereka seharusnya berstatus pekerja kontrak. Tetapi ketika tidak masuk bekerja, gaji mereka yang sudah di bawah UMK juga dipotong.
Ketika hendak dimintai konfirmasi, pihak manajemen RS yang diwakili Ketut Simpen enggan berkomentar. “Karena tidak ada owner, saya tidak diizinkan untuk wawancara sama wartawan,” ujarnya seraya berlalu.
Sementara itu, Sekretaris Regional Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Bali Ida I Dewa Made Rai Budi Darsana mengatakan, PHK sepihak yang dilakukan manajemen RS merupakan kejahatan kemanusiaan. Pekerja mesti dilindungi agar diperlakukan secara manusiawi. Pihak RS beralasan masa kerja telah berakhir.
Padahal di satu sisi, sebetulnya jelas bahwa status pekerja sudah berubah dari PKWT menjadi PKWTT pada 7 Desember 2018. Namun, mereka malah di-PHK pada Mei lalu. “Tapi yang mereka (pihak RS-red) pergunakan adalah evaluasi, kemudian tidak dibutuhkan. Kok semudah itu. Setelah dua tahun bekerja, tiga tahun bekerja, kenapa tiba-tiba mereka mengatakan tidak dibutuhkan,” ujarnya didampingi Penasihat Hukum pekerja, I Ketut Gede Citarjana Yudiastra.
Citarjana menambahkan, dari tujuh pekerja yang di-PHK, pihaknya mendampingi tiga di antaranya untuk melakukan laporan pidana dugaan penggelapan BPJS di Unit II Polres Buleleng. Di beberapa alat bukti, ada pekerja yang mendapat gaji Rp 800 ribu.
Namun yang dipotong untuk BPJS adalah sebesar Rp 21 ribu. Begitu pula yang mendapat gaji Rp 1,7 juta, tetapi dipotong sebesar Rp 21 ribu. Padahal, besaran potongan untuk BPJS seharusnya 1 persen dari gaji. “Kalau 1 persen dari Rp 800 ribu kan cuma Rp 8 ribu,” jelasnya. (Rindra Devita/balipost)