AA Sri Wahyuni memberikan presentasi saat ujian terbuka promosi doktor di Universitas Udayana, Kamis (20/6). (BP/wan)

DENPASAR, BALIPOST.com – Universitas Udayana melaksanakan ujian terbuka promosi doktor untuk dr. Anak Ayu Sri Wahyuni, Sp.KJ. pada Kamis (20/6). Dalam disertasinya AA. Sri Wahyuni mengupas tentang polimorfisme gen serotonin transporter (5-HTT), monoamin oksidase A (MAOA) dan pola asuh merupakan faktor risiko perilaku antisosial pada anak.

AA. Sri Wahyuni menjelaskan, disertasi ini dibuat bertujuan untuk memberikan pemahaman bahwa anak-anak yang berperilaku antisosial yang saat ini semakin marak di masyarakat, agar mendapat terapi yang optimal. Sehingga mereka tidak harus berakhir di penjara dan menjadi pelaku kriminal kronis.

Perilaku antisosial anak terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya, karena mereka terlahir dengan kelainan gen yaitu polimorfisme gen. Apalagi jika kelainan ini disertai dengan pola asuh atau lingkungan (group) yang memicu anak menjadi nakal. Seperti pola asuh otoriter atau penelantaran, maka mereka akan berkembang menjadi pelaku kriminal di masa mendatang. “Disertasi ini diambil karena ketertarikan saya pada anak–anak. Karena anak–anak adalah generasi penerus bangsa,” ungkapnya.

Baca juga:  Sekedar Penuhi Kuota, Caleg Perempuan Minim Pengetahuan Politik

Kasus antisosial anak seperti ini dikatakan cukup banyak di Bali. Dari laporan KPPAD 2017, ada 130 kasus yang melibatkan anak berhadapan dengan hukum.

Hampir 50 persennya berakhir dengan pemenjaraan, yaitu di lembaga pendidikan khusus anak, seperti Lapas anak di Karangasem. Sebagian lagi ditempatkan bersama – sama dengan narapidana dewasa di Kerobokan atau di lapas-lapas di kabupaten, karena orang tuanya tidak menginginkan.

Baca juga:  Amankan BDF, Polisi Kerahkan Puluhan Personel

Sri Wahyuni berharap mereka diperlakukan sama seperti anak berperilaku antisosial lainnya seperti anak pecandu zat. Karena ketika mereka dibuktikan di laboratorium bahwa ada kelainan polimorfisme di gen serotonin atau monoamine, anak tersebut harus mendapatkan rehabilitasi dengan biaya dari pemerintah. Sehingga mereka diharapkan bisa menjadi penerus bangsa ini, menjadikan Indonesia sejahtera.

Terhadap kasus-kasus anak selama ini, pemerintah hanya turun melalui perlindungan P2TP2 Provinsi Bali dan kabupaten serta KPPAD. Namun untuk penegakan hukum belum banyak melibatkan psikiater sebagai tenaga ahli bukti visum psikiatrikum, yang bisa membuktikan bahwa anak tersebut bukan karena alasan ekonomi dan bukan karena orang tua jahat, mereka berperilaku antisosial.

Baca juga:  Cegah Penyebaran COVID-19, Desa Adat Karangsari Tindak Tegas Krama "Membandel"

Bisa saja ada kelainan gen yang bisa ditangani secara holistik agar anak itu bisa kembali menjadi anak yang normal. Sehingga ia bisa berfungsi seperti anak yang lain dan punya masa depan cemerlang.

Melalui disertasi ini, ia berharap pemeriksaan serotonin dan monoamine pada semua kasus anak berhadapan dengan hukum dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dalam pertimbangan hukum pada peradilan anak. Sehingga anak tidak saja diberikan pembinaan khusus anak atau menjadi narapidana anak, agar ia tetap bisa sekolah, tetap bisa punya masa depan dan dia jadi sehat. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *