Oleh Kurniawan Adi Santoso
Pemerintah berencana impor guru. Ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani pada diskusi Musrenbangnas, di Jakarta (Kamis, 9/5). Rencana mendatangkan guru dari luar negeri amat ironis di tengah berbagai persoalan guru di Tanah Air yang belum tertangani.
Tak ayal dapat sambutan negatif dari masyarakat khususnya guru-guru di tanah air. Tanggapan negatif masyarakat kemudian dijawab oleh pemerintah melalui pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy bahwa guru-guru asing yang diundang akan berperan sebagai pemberi pelatihan (training of trainers/ToT) dan bukan untuk mengajar di sekolah-sekolah.
Mendatangkan tenaga pengajar ahli tersebut dinilai oleh pemerintah akan meningkatkan efisiensi pembiayaan pelatihan sumberdaya manusia Indonesia tanpa harus mengirim mereka ke luar negeri. Jadi, pemerintah mendatangkan guru asing sebagai solusi untuk meningkatkan kualitas guru di tanah air.
Ya, memang harus kita akui kualitas guru kita masih belum baik. Kompetensi guru masih rendah. Secara umum ada dua kompetensi yang harus dikuasai guru, yaitu kemampuan pedagogik dan profesional. Sederhananya pedagogik adalah cara mengajar dan profesional adalah penguasaan isi materi pelajaran.
Pada dua kompetensi tersebut, guru Indonesia masih dianggap rendah. Ini bisa dilihat dari hasil uji kompetensi guru (UKG) 2017, rata-rata nasional TK 68.23; SD 62.22; SMP 67.76, 69.55 berada jauh di bawah nilai yang ditargetkan 80.00. Bahkan, kompetensi pedagogik, yang menjadi kompetensi utama guru pun belum menggembirakan. Masih banyak guru yang cara mengajarnya masih text book, cara mengajar di kelas yang membosankan, cara mengajar layaknya “menuang air dari teko ke gelas”.
Yang kemudian berdampak pada capaian pendidikan Indonesia yang belum menggembirakan. Hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA), yaitu tes untuk mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains anak usia 15 tahun yang hasilnya pada 2015 Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 76 negara peserta. Peringkat Indonesia di bawah negara-negara ASEAN seperti Singapura (peringkat ke- 2), Vietnam (peringkat 17), Thailand (peringkat ke-50), dan Malaysia (peringkat ke-52).
Saat ini Indonesia masih menghadapi persoalan guru yang tidak ringan. Selain mengenai kompetensi, disparitas kuantitas dan kualitas guru antar wilayah dan antardaerah secara nasional sangat tinggi. Masih banyak guru mengajar tidak sesuai dengan latar belakang akademiknya. Ini karena rekrutmen guru tidak melalui mekanisme profesional.
Guru honorer untuk memenuhi kebutuhan jumlah guru direkrut berdasar “siapa yang mau”. Akibatnya, selain menimbulkan kesulitan pengangkatan juga kompetensinya tidak memadai.
Persoalan kurangnya guru pada bidang studi tertentu disebabkan keterlambatan rekrutmen guru TK dan guru SD/MI yang berlatar belakang akademik PGTK dan PGSD/MI.
Kualifikasi guru yang belum setara sarjana (S1), dari 3,9 juta guru yang ada saat ini terdapat 25% yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik. Konsekuensinya, standar keilmuan yang dimiliki guru menjadi tidak memadai untuk mengajarkan bidang studi yang menjadi tugasnya.
Di sisi lain, tidak sedikit guru yang sarjana pendidikan, tetapi bermasalah dalam aspek pedagogik. Ini ditengarai mudahnya menjadi mahasiswa calon guru. Padahal, semestinya yang menjadi mahasiswa calon guru adalah mahasiswa-mahasiswa terbaik dari sisi akademis, psikologis, dan pedagogik karena mereka akan menjadi guru yang mendidik anak-anak bangsa. Jadi, pemerintah harus membenahi seleksi calon guru yang saat ini ditangani lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK).
Peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB) guru rendah. Tidak jarang pelatihan-pelatihan guru semata-mata berorientasi proyek. Guru mengikuti pelatihan sekadar menggugurkan kewajiban. Jangankan meningkat kompetensinya, selesai pelatihan cara mengajarnya tidak berubah sama sekali.
Persoalannya, tidak adanya kesinambungan dan kontinuitas pelatihan guru dalam jabatan. Pelatihan guru masih sebatas formalitas dengan mengumpulkan guru untuk diberi pelatihan tetapi tindak lanjutnya di kelas tidak terpantau. Akibatnya, pelatihan tidak berimbas pada perbaikan keterampilan guru dalam mengajar.
Pada kasus ini, pemerintah sebenarnya dapat memberdayakan kepala sekolah dan pengawas sekolah. Keduanya dapat dioptimalkan pada kerja-kerja supervisi dan pembimbingan. Namun faktanya, kerja-kerja mereka lebih pada persoalan administratif untuk melengkapi formalitas laporan.
Selain itu, tidak ada mekanisme baku bagi guru yang telah mengikuti pelatihan untuk mengimbaskan pada guru lain. Sebetulnya jika mekanisme pengimbasan berjalan, tidak perlu impor guru. Pada Maret 2019, Kemdikbud telah memberangkatkan 1.200 guru selama tiga minggu ke beberapa negara untuk menimba ilmu pendidikan.
Pengalaman guru-guru ini dapat disebarkan ke guru-guru lain. Penyebaran itu sebenarnya bisa dilakukan dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG).
Penulis adalah guru SDN Sidorejo, Kab. Sidoarjo, Jatim