Muhammad Yusron. (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pada 2019, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menangani 5 BPR yang mengalami kegagalan atau bangkrut. Total sejak 2005 hingga saat ini, ada 96 bank yang telah ditangani LPS, 1 diantaranya bank umum dan 95 lagi adalah BPR. Total klaim yang dibayar LPS adalah untuk bank tersebut adalah Rp 1,3 triliun.

Sekretaris LPS Muhamad Yusron ditemui di Denpasar, Kamis (20/6) mengatakan, sudah ada 96 bank yang ditangani LPS sejak tahun 2005 hingga saat ini. Dari 96 bank tersebut, 1 diantaranya bank umum dan 95 BPR.

Tahun ini sudah ada 5 BPR dari seluruh Indonesia yang ditangani LPS. Dari 96 bank tersebut, hampir semuanya tidak diselamatkan atau dilikuidasi.

Baca juga:  Hari BPR-BPRS, Perbarindo Bali Luncurkan Bank Perekonomian Rakyat

Dalam menangani bank yang gagal, sejak 2016 dengan adanya UU PPKSK (Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan) nomor 9 tahun 2016, LPS diberi wewenang tambahan atau tambahan metode penanganan bank. Metode ini memberi ruang bagi LPS untuk menekan cost dalam menangani bank yang gagal.

Dalam UU LPS, sebelumnya jika ada bank yang bermasalah pilihan penyelesaiannya ada dua yaitu dicabut atau diselamatkan. Namun kini, dengan adanya UU PPKSK ada opsi LPS dapat menyelamatkan bank tersebut dengan 3 cara. Yaitu dengan menyuntikkan modal melalui penerbitan surat utang (obligasi), purchase and assumption (P and A), dan mendirikan bridge bank.

Baca juga:  Banknya Tutup Tapi Nasabahnya Terjamin, Surya Cairkan Klaim Penjaminan LPS dalam 2 Minggu

Ia menjelaskan jika ada bank yang gagal (bangkrut) maka asetnya akan dipindahkan atau diserahkan ke bank penerima beserta dengan kewajibannya. “Seluruh asetnya atau sebagian diserahkan ke bank penerima. Jika kewajibannya lebih besar, maka LPS akan menambahkan modal,” jelasnya.

Model lain yang bisa digunakan LPS dalam rangka penyelamatan bank tersebut yaitu yang sudah lazim digunakan dan sering digunakan di Amerika. Model tersebut disebut P and A (purchase and assumption).

Model kedua yang bisa digunakan LPS adalah dengan membentuk bridge bank. Jika suatu bank gagal, namun aset dan kewajibannya masih bagus, maka LPS akan mengalihkan asset dan kewajibannya pada bank baru yang dikelola LPS. “Jadi bedanya, kalau tadi (model P an A) adalah bank yang sudah existing. Kalau ini (model bridge bank),  bank ini akan menerima aset dan kewajiban bank dari bank yang gagal, namun kemudian beroperasi normal,” ujarnya.

Baca juga:  G20 Didesak Mengadopsi Standar Internasional dalam Penyusunan Kebijakan

Metode baru ini dilakukan untuk menekan cost, menekan biaya resolusi bank. “Metode baru  P an A, bridge bank ini sebetulnya untuk menekan cost. Jadi pertimbangan utama itu salah satunya itu untuk menekan biaya resolusi bank, tidak inject fuel. Seperti Bank Century menyuntikkan modal cukup besar. Tapi untuk P and A dan metode bridge bank, kita hanya membayar sebagian atau selisihnya, bukan total modal yang dibutuhkan,” jelasnya kemudian. (

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *