Oleh GPB Suka Arjawa
Pengkaderan pimpinan partai politik di Indonesia mulai dibicarakan. Ini tentu saja langkah positif yang mempunyai tujuan jangka panjang. PDI Perjuangan dan Partai Demokrat merupakan dua partai yang sudah mulai membicarakan pengkaderan ini, bahkan juga penggantian pimpinan partai.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan membicarakan hal itu ketika menyelenggarakan rapat kerja nasional beberapa waktu lalu di Jakarta. Istilah yang dipakai adalah regenerasi, yang kurang lebih dapat diartikan sebagai alih generasi kepemimpinan partai politik bersangkutan. Sebagai sebuah partai besar, jelas ini perlu dilakukan.
Partai Demokrat dan PDI Perjuangan jelas merupakan partai besar di Indonesia. Secara kuantitas, seperti yang terlihat di dalam perolehan suara pada pemilu yang baru lalu, Partai Demokrat mendapatkan pilihan yang lebih kecil dibandingkan dengan PDI Perjuangan.
Akan tetapi secara kualitas, dalam hal mendukung kandidat presiden seperti yang terlihat pada tahun 2004 dan 2009, Partai Demokrat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan PDI Perjuangan. Jadi, keduanya mempunyai kekuatan politik yang sama dalam kontestasi sistem kenegaraan di Indonesia.
Karena itu jelas keduanya merupakan sumber daya bagi sistem politik Indonesia yang harus dilihat perkembangannya. Harus pula dilihat stabilitas internalnya. Stabilitas internal ini penting diperhatikan karena gangguan terhadap keberadaan partai ini, dapat saja mengganggu stabilitas politik negara.
Konflik, apalagi perpecahan dari partai yang mempunyai pengaruh ke seluruh negara, berpotensi juga mengguncang stabilitas negara tersebut. Ini terjadi karena partai itu mempunyai perwakilan pada sebagian besar kabupaten di Indonesia. PDI Perjuangan dan Partai Demokrat merupakan partai dengan kualifikasi demikian.
Karena itulah, pergantian kepemimpinan partai harus diperhatikan dengan cermat dan harus dipersiapkan dengan baik-baik, sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada partai bersangkutan. Pergantian kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang krusial pada partai politik. Banyak yang menyebutkan bahwa persaingan antar aktor menjadi faktor utama yang menentukan kelanjutan dari stabilitas partai tersebut.
Namun, yang sesungguhnya jauh lebih penting diperhatikan adalah komitmen, nilai-nilai diri, kemampuan manajerial dan kharisma. Di Indonesia pertimbangan terakhir ini penting diperhatikan. Komitmen merupakan sebuah perjanjian diri yang berani belajar dan berkorban untuk menjadi pemimpin partai.
Menjadi pemimpin partai (dan pimpinan pada umumnya) merupakan sebuah pengorbanan dan kemampuan diri untuk bertahan. Desakan, kritik, sampai tuntutan merupakan bagian dari kepemimpinan tersebut.
Apalagi skup dari kepemimpinan tersebut menasional. Hanya mereka yang mempunyai komitmen tinggi yang mampu menghadapi deraan seperti ini. Nilai, dalam arti panutan perilaku yang dipilih oleh pemimpin, sangat mempengaruhi anak buah dan bawahan.
Salah dalam memlih nilai ini, perjalanan partai akan menyimpang. Nilai harus disesuaikan dengan ideologi partai tersebut, dan nilai itulah yang menjadi cara berperilaku pimpinan partai. Kemampuan manajerial sudah pasti menjadi tantangan tersendiri. Hanya saja, jangan dilupakan kalau di Indonesia itu, jangan sok-sokan menerapkan manajerial model Barat.
Di sebagian besar negara berkembang, apalagi dengan tradisi gotong-royong seperti Indonesia, manajemen yang dipakai adalah manajemen ketimuran (mirip tradisional). Sang pemimpin harus tahu mengerjakan apa yang dilakukan oleh rakyat kecil.
Pemimpin harus mau terjun memetik padi di sawah. Ini perbedaan manajemen ketimuran-tradisional dengan manajemen Barat yang berbasis aturan dan professional. Tidak tahan dengan hal ini, tidak akan tahan menjadi pemimpin partai. Dan kharisma merupakan pelengkap daru semua yang disebutkan itu.
Di Indonesia, karisma terkadang diterjemahkan dengan penampilan. Tetapi sesungguhnya yang lebih tepat adalah pesona pribadi. Di sini yang termasuk pesona, termasuk penampilan fisik, psikologis, sampai dengan wacana.
Faktor itulah yang harus dipikirkan dalam penggantian pimpinan puncak partai. Dalam hal PDI Perjuangan dan Partai Demokrat, ada indikator yang harus benar-benar diperhatikan. “Roh” kedua paartai ini ada pada trah keluarga, bahkan trah dapa satu individu, yaitu keluarga Soekarno dan Soekarno serta keluarga Susilo Bambang Yudoyono dan Susilo bambang Yudoyono sendiri.
Kelebihan dari pengelolaan partai seperti ini adalah relatif mudah dan mulus pergantiannya apabila ada putra mahkota yang akan jelas menggantikan partai. Juga stabilitas dan harmonisasi keluarga tersebut.
Tetapi hambatan yang paling besar sekaligus menjadi ancaman, adalah jika justru diantara para keluarga itu ada ketidakharmonisan dan tidak ada putra mahkota yang jelas untuk menggantikan pemimpinan partai. Sesungguhnya, jika mau jujur juga, partai yang mempunyai karakter seperti diutarakan di atas, berpotensi menganggu nilai-nilai demokrasi karena “jatuhnya” pemimpin ke dalam satu keluarga juga.
Namun, hal ini dapat diatasi, apabila keluarga itu stabil dan kemudian dalam praktik berketatanegaraan, benar-benar mampu menerapkan sistem demokrasi yang sesungguhnya (seperti yang terjadi pada Partai Kongres di India). Dengan demikian, satu metode yang paling baik untuk melakukan pergantian seperti ini adalah sistematika waktu serta pembaruan dalam hirakhi kepengurusan.
Sistematika waktu itu berupa mengambil saat yang tepat (dalam hal ini lebih lama) untuk mempersiapkan pergantian kepemimpinan, misalnya lima tahun sebelumnya atau bahkan lebih dari itu. Pembaruan struktur kepengurusan, merupakan adaptasi bagi calon yang akan diperisiapkan untuk menjadi pemimpin di dalam struktur partai.
PDI Perjuangan telah mengambil langkah yang cukup strategis dengan telah mengeluarkaan wacana regenerasi kepemimpinan pada saat ketua umumnya masih segar bugar. Akan tetapi ada dua calon pemimpin yang mungkin berpotensi untk menjadi pemimpin tersebut.
Maka, wacana ini secara perlahan-lahan akan membentuk nilai kepada dua calon pemimpin itu. Pada saat yang sama kedua calon pimpinan (dua orang putra dan putri Ibu Mega) mendapat bimbingan dari para politisi senior untuk mencegah terjadinya konflik di masa mendatang. Disinilah sistematika waktu sangat penting bagi partai ini.
Kedewasaan dan kepentingan nasional sebagai cara pandang juga perlu ditanamkan kepada calon pemimpin. Dengan pemahaman peran partai bagi kepentingan nasional, maka pembaruan struktur organisasi partai mempunyai peran penting (ketua dan wakil ketua). Harus benar-benar memperhatikan kepentingan nasional untuk menduduki kursi ketua dan wakil ketua. Dan harus ada pembagian yang jelas (dan seimbang) antara dua struktur organisasi ini.
Partai Demokrat telah pula melakukan langkah persiapan dengan memberikan kesempatan kepada AHY untuk terjun pada politik praktis, yaitu menjadi calon gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Persaingan dalam keluarga, kiranya tidak kelihatan di dalam tubuh partai ini sehingga persiapan untuk menggantikan kepemimpinan SBY di masa depan tidak terlalu mengalami kesulitan.
Hanya saja, karisma kebapakan yang diperlihatkan oleh SBY masih belum dapat tergantikan disini. Kepemimpinan negara berkembang yang mampu mengakar ke bawah, masih terlihat pada sosok pemimpinnya yang sekarang. Bijaknya adalah, bagaimana secara pelan-pelan, karisma itu dipelajari dari sekarang oleh calon penerus. Sebagian karisma dapat dipelajari. Misalnya bersentuhan dengan rakyat kecil.
Penulis adalah staf pengajar sosiologi Fisip, Universitas Udayana.