Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Memang terjadi pro-kontra tentang sistem zonasi pada PPDB 2019. Tak sedikit orangtua atau wali murid yang memprotes sistem yang berdasarkan jarak kedekatan tempat tinggal ini.
Permasalahan yang terjadi dan sejalan dengan gagasan dasar PPDB zonasi berkaitan dengan tingkat kepadatan suatu pemukiman, sehingga ada sekolah yang kekurangan siswa. Di lapangan, hal ini membuat sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga biasanya ada di pusat kota sepi peminat. Misalnya yang terjadi pada 12 SMP di Solo, Jawa Tengah, atau pada 53 SMP di Jember, Jawa Timur.
Ketika di satu sisi ada sekolah yang kekurangan siswa, di sisi lain ada sekolah yang kelebihan peminat karena berada di zona padat, misalnya SMA Negeri 1 Jepon yang zonanya ada di tiga kecamatan sekaligus: Jepon, Jiken, dan Bogorejo (Dipna Videlia Putsanra -19 Juni 2019, Tirto.id “Memahami Sistem Zonasi Sekolah di PPDB 2019”).
Terlepas dari permasalahan tersebut, yang sederhana dan mendasar dari PPDB zonasi sejatinya adalah suatu sekolah “hanya” dapat menerima siswa dalam radius tertentu. Hal ini bertujuan untuk mengatasi kendala transportasi. Di samping itu, sekolah harus adil dan tidak diskriminatif dalam menerima calon siswa. Tidak ada lagi sekolah yang dengan jemawa menerima calon siswa kualitas unggul, sementara sekolah lain hanya menerima kumpulan calon siswa bodoh.
Tapi zonasi ini masih dimasalahkan oleh segelintir orangtua karena pada radius atau zona tempat tinggal, tidak ada sekolah unggul/idaman/favorit sehingga ingin keluar zona. Lalu memalsukan alamat, seperti yang terjadi di kota Bandung. Ketua Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Kota Bandung, Iwan Hermawan mengemukakan, ditemukan alamat janggal yang mendaftar di SMA favorit di Kota Bandung. Setidaknya ada delapan pendaftar beralamat sama di Jalan Bali, dan empat pendaftar beralamat di Jalan Kalimantan. Namun asal sekolahnya berbeda-beda (Pikiran Rakyat, Kamis, 20 Jun 2019).
Orangtua seperti ini rupa-rupanya masih menganut pandangan, sekolah berbeda kualitasnya dan menjadi penentu nomor satu prestasi. Yang mereka abaikan adalah sistem standardisasi pendidikan. Mutu sekolah, guru, pengelolaan, fasilitas belajar semuanya telah distandarkan oleh pemerintah di bawah regulasi berdasar undang-undang dasar negara.
Yang membuat sekolah unggul sehingga menjadi sekolah idaman atau favorit bagi siswa cerdas adalah siswa yang memang unggul. Jadi bukan karena guru dan fasilitas sekolah. Para orangtua perlu kiranya menyadari kata-kata Mendikbud Muhadjir Effendy, “Zonasi ini banyak yang masih belum memahami. Banyak orangtua yang masih berburu sekolah favorit. Padahal itu sekolah favorit nggak ada. Karena gurunya juga akan kita rotasi, kita ratakan. Karena itu, saya mohon orangtua mengubah mindset itu.”
Sekolah unggul/idaman/favorit terjadi bukan karena mutu sekolah itu dan kualitas guru-gurunya, tetapi lebih karena kebetulan menjadi tempat berkumpulnya siswa berkualitas unggul. Dalam perkara ini, guru-guru dan kepala sekolah mendapat nama baik.
Masyarakat percaya seratus persen, guru-guru di sekolah ini yang memang pintar sehingga dapat mencetak para juara. Tapi yang sulit diterima oleh orangtua siswa, kualitas guru di sekolah ini pun sama dengan guru-guru di sekolah lain. Namun mesti diakui ada satu dua guru mahahebat di sejumlah sekolah.
Mengajar siswa kualitas unggul sangat gampang karena kognitif, sikap, dan psikomotor sudah sangat tinggi, didukung oleh minat dan motivasi belajar yang juga tinggi, dan partisipasi orangtua, ya jangan ditanya lagi. Ekstremnya, siswa cerdas dan unggul tidak perlu guru!
Zonasi pun dimasalahkan oleh pihak sekolah dan guru. Seorang kepala sekolah menuliskan keluhannya di media sosial karena PPDB zonasi menjadi biang kerok menurunnya prestasi siswa. Hal ini benar, karena kualitas masukan menentukan hasil belajar. Guru-guru merasa sangat sulit dalam mengajar karena siswanya bodoh-bodoh. Kesenjangan siswa pintar dan bodoh semakin tajam.
Tapi! Apakah guru hanya siap mengajar siswa yang sudah cerdas? Guru rupanya lupa bahwa siswa memiliki karakter yang unik. Karena itu, guru/sekolah harus adil. Siap mengajar siswa dengan segala variasi atau tingkat kemampuan dengan segala kelebihan dan kekurangan. Tidak boleh mendiskriminasi siswa bodoh karena siapapun mereka adalah anak-anak bangsa yang berhak mendapat pendidikan secara adil dan manusiawi.
Pada siswa bodohlah guru dituntut bekerja lebih keras dengan tulus dan profesional. Tapi hanya sedikit guru yang bijaksana dan cerdas. Guru yang “meributkan” PPDB zonasi adalah yang kurang memahami hakikat tugasnya. Pada keadaan ini, semoga esai ini bisa membantu.
Zonasi adalah sistem PPDB berdasarkan tempat tinggal. Sekolah yang berdiri di suatu wilayah harus siap melayani siswa dari zona ini. Tidak boleh menolak. Hal ini menjadi fokus pemahaman bersama. Jika secara kebetulan ada siswa yang unggul di wilayahnya, maka sekolah ini akan memperoleh “modal awal” dalam membangun reputasi, yang mana akan berkembang menjadi sekolah unggul di wilayah tersebut nantinya.
Zonasi adalah sistem berkeadilan berbasis wilayah dan juga sosiologis dan tidak ada kaitan dengan prestasi calon siswa. Ideologi sistem zonasi adalah pemerataan dan kemudahan akses. Jika ingin berprestasi, guru dan kepala sekolah serta orangtua harus bekerja keras dan memulai dari nol.
Zonasi akan melahirkan sekolah-sekolah unggul baru di kota dan di desa-desa karena terjadi persebaran secara acak siswa-siswa berkualitas unggul. Sehingga tidak ada lagi sekolah unggul/favorit/bereputasi yang sesungguhnya semu karena terjadi bukan karena guru dan sekolah itu, tetapi karena siswanya.
Walaupun diakui oleh Presiden Jokowi, “Tidak menutupi bahwa memang banyak permasalahan yang perlu dievaluasi dari penerapan sistem zonasi di PPDB pada tahun ajaran kali ini dibanding dengan sebelumnya”, (Kompas.com “Jokowi Akui Sistem Zonasi PPDB Bermasalah”), namun pemerintah harus tetap mempertahankannya karena seperti yang dikemukakan oleh Mendikbud, “Pendekatan zonasi tidak hanya digunakan untuk PPDB saja, tetapi juga untuk membenahi berbagai standar nasional pendidikan.
Mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, kemudian kualitas sarana prasarana. Semuanya nanti akan ditangani berbasis zonasi. Penerapan sistem zonasi untuk pemerataan pendidikan yang berkualitas sehingga diharapkan dapat mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat.” (Kompas.com “9 Poin Buka-bukaan Mendikbud Soal Sistem Zonasi dan PPDB 2019”).
Dengan mendalami pandangan Mendikbud, tidak ada alasan lagi kalau sekolah dan guru ikut-ikutan melemahkan atau hendak mementahkan PPDB zonasi, sebagaimana halnya segelintir masyarakat angkuh yang memang tidak memahami pendidikan secara luas, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya, dengan mendalami aturan dan pandangan Mendikbud, guru dan sekolah harus konsisten melaksanakan PPDB zonasi.
Penulis, Dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undisha) Singaraja